Orbit Indonesia
Hendrajit: Cerita Tentang Etos Keguruan Dalam Diri Mas Juwono Sudarsono dan Bang Arbi Sanit
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 12 November 2023 07:15 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Waktu saya mewartakan wafatnya Prof Arbi Sanit, ada salah satu adik kelas yang tahu betul saya adalah salah satu muridnya semasa kuliah di Fisip Universitas Nasional dulu.
Ia bertanya, "Apa yang paling kerasa dan merasuk dalam benak bang Hendrajit dari didikan bang Arbi?"
Terus terang agak lama juga merenung menjawab pertanyaan ini. Semasa kuliah dulu saya menikmati materi kuliah yang disampaikan bang Arbi tentang Sistem Politik Indonesia dan Analisa Kekuatan-Kekuatan Politik di Indonesia. Dua subjek studi yang memang menarik minat saya.
Namun kala itu minat utama saya adalah dalam bidang hubungan internasional utamanya politik internasional dan ekonomi-politik luar negeri. Sehingga idola saya waktu itu adalah Dr Juwono Sudarsono, dosen UI yang beberapa tahun lebih muda daripada bang Arbi.
Kalau dengan mas Juwono Sudarsono, begitu sapaan informal saya padanya, saya merasakan kedalaman wawasan dan penguasaan seluk-beluk masalah luar negeri yang disampaikan secara menarik, namun mudah dicerna dan renyah.
Penuturannya dalam perkuliahan, yang seperti orang sedang berkisah atau mendongeng, seringkali saya dan teman-teman larut pada penyampaiannya. Baru kemudian nyadar, "Waduh, tadi beliau pakai teori apa ya dalam mengupas subyek tersebut."
Namun itulah kekuatan mas Juwono, mampu memantik minat para mahasiswanya untuk lebih mendalami bahan bacaan atau referensi-referensi lainnya.
Baca Juga: Kejutan Piala Dunia U17 2023: Argentina Takluk dari Senegal, Amara Diouf Jadi Pahlawan Kemenangan
Padahal, dalam perkuliahan yang disampaikan, guru besar FISIP dan mantan Dekan UI tersebut, tak terlalu banyak memaksa mahasiswanya baca buku ini baca buku itu. Justru gaya penyajian dan penyampaiannya itulah yang mendorong mahasiswanya malah jadi pro aktif dan mendalami satu isu secara lebih mendalam.
Dalam urusan nilai ujian pun Juwono termasuk murah hati. Bahkan ada joke, kalau sampai Juwono ngasih nilai B atau C, berarti itu orang sudah parah banget. Entah parah malasnya atau jarang masuk kuliah alias bandel.
Sekian sekilas mengenai mas Juwono yang saat ini masih hidup, meski saya dengar beberapa tahun ini kesehatannya rada menurun. Namun doa saya semoga beliau tetap sehat-wal afiat.
Almarhum bang Arbi lain lagi, kalau tak mau dibilang kontras dibandingkan mas Juwono. Begitu kali pertama saya ikut kuliah beliau, kontan beberapa senior di Unas ada yang membisiki, "Sstt, hati-hati, dia dosen killer."
Baca Juga: Hasil Grup D Piala Dunia U17 2023: Sempat Terhenti Karena Hujan Jepang Sukses Tebas Polandia
Artinya, dalam urusan nilai, selain menjawab benar, cara berpikirnya juga harus benar dan tepat. Maka karena wataknya ini, banyak mahasiswa kala itu kalau dapat C, bersyukurnya bukan main.
Namun, selama saya mengikuti perkuliahan beliau, dari dua tiga kali pertemuan, saya sudah dapat simpulkan, ada satu cara atau resep supaya dapat nilai bagus dari bang Arbi.
Pertama, ikuti alur pikirnya, pahami rangka dasar analis yang digunakannya.
Jadi strategi menghadapi model bang Arbi harus seperti mempelajari sejarah pemikiran tokoh.
Kuasai aspek biografis subyeknya, baru kemudian kuasai pokok pikiran atau teorinya, dan karya-karya utamanya alias buku babonnya. Ini juga yang kemudian saya gunakan ketika mengikuti kuliah filsafat kebudayaan yang disampaikan Sutan Takdir Alisyahbana, rektor saya waktu itu. Yang mana rumor yang sama juga sempat dialamatkan pada STA bahwa ini dosen killer, pelit nilai dan sebagainya.
Baca Juga: Prediksi Skor BRI Liga 1: Bali United vs Borneo FC, Big Match yang Jadi Penutup Laga di Pekan ke 19
Secara tak sadar, gaya model bang Arbi mengajar inilah justru yang paling membekas sampai sekarang pada diri saya, bukan pada isi atau wawasan keilmuannya yang luas dan mendalam seperti mas Juwono.
Karena pakem yang saya terapkan dalam menyerap kuliah bang Arbi ibarat melakukan studi pemikiran tokoh, maka tanpa saya sadari dari sinilah saya mempelajari sesuatu yang berharga dari Bang Arbi.
Pertama, bahwa dalam mempelajari ilmu, termasuk dalam mempelajari dan mengkaji aneka ragam teori dan aliran pemikiran, harus objektif, namun tetap harus punya standing point (pendirian yang lahir dari diri kita sendiri). Walaupun pada akhirnya, nanti kita harus membuat sintesis dari dua teori yang bertentangan dan berseberangan.
Ya, moralitas dan sikap etik sebagai ilmuwan, itulah melalui perkuliahan singkat di Unas, yang saya serap dan merasuk ke benak sampai sekarang. Bahwa dalam mendalami ilmu sekalipun, tidak boleh bersikap abu-abu.
Itulah rahasia sebab mengapa bang Arbi sangat digandrungi perkuliahannya maupun kerap diundang seminar oleh kalangan para aktivis mahasiswa, karena watak intelektualnya yang sebagai ilmuwan pun, mengharamkan sikap abu-abu.
Namun harus punya pendirian dan sikap. Namun sebaliknya, dalam mengolah ilmu, harus punya pilihan metodologis, dan dalam pilihan metodologisnya kita harus konsisten dan tahu betul implikasi baik dan implikasi buruknya.
Dalam isi materi subyek yang disajikannya, sebenarnya saya tidak selalu klop dan sepandangan dengan Bang Arbi apalagi ketika mengulas konstelasi di era Orde Baru kala itu.
Namun sebagai mahasiswa yang dulu juga dipupuk oleh atmosfer pergerakan, saya memandang bang Arbi sebagai sumber inspirasi untuk tidak larut berbagai aliran politik dan pemikiran politik yang terkesan ilmiah, padahal merupakan propaganda terselubung.
Baca Juga: Pegadaian Liga 2, Kondisi Lapangan Bahayakan Pemain, Laga Perserang Melawan Malut United Ditunda
Lewat sekelumit kisah tentang Juwono Sudarsono dan Arbi Sanit, terkandung sebuah pesan bahwa seorang dosen yang juga dijiwai oleh etos keguruan, para muridnya akan mengenang dirinya bukan saja pada apa yang diajarkan lewat perkuliahan, melainkan juga sosok kepribadiannya dalam menyengatkan ilmunya kepada murid-muridnya.
Lewat kepribadian Arbi Sanit dan gaya perkuliahan yang disampaikan, saya seakan disengat untuk mengerti dan menghayati bagaimana analisa dibuat untuk membedah kenyataan secara objektif dan dingin, namun ditujukan untuk bersikap tegas dan tidak abu-abu sebagai ilmuwan.
Lewat kepribadian dan gaya perkuliahan Juwono Sudarsono, saya seakan disengat untuk menyadari, bahwa ilmu bukan sekadar analisis bedah realitas, tapi harus mendorong munculnya imajinasi dan fantasi kreatif agar kita lewat ilmu yang dikuasai mampu menjadi pemecah masalah/problem solver.
Etos keguruan yang melekat pada pribadi sang dosen/pengajar seperti Arbi Sanit dan Juwono Sudarsono, nampaknya yang sepertinya mulai sirna saat ini. Semoga saja kekhwatiran saya ini terlampau berlebihan.
Semoga darma bakti bang Arbi selama berjihad di jalan keilmuan dan jasa-jasanya bagi para mahasiswanya, termasuk saya, merupakan wasilah baginya untuk mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Aamiin.
Kepada mas Juwono, semoga senantiasa sehat dan penuh berkah bersama keluarga Aamiin.
Oleh: Hendrajit, pengamat geopolitik. ***