Hendrajit tentang Novel Haruki Murakami, "Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya"
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Sabtu, 11 Januari 2025 07:59 WIB
Hanya saja saat Tsukuru menyatakan niatnya mau ke Tokyo, kawan-kawan sekomunitas Tsukuru karena gengsi dan ego, tidak berterus-terang, dan membiarkan Tsukuru melanjutkan sekolah di Tokyo untuk mendalami passionnya sejak kecil, yaitu stasiun kereta api.
Jadi, berbeda dengan teman-teman Tsukuru satu komunitas yang tetap ingin tinggal di Nagoya, Tsukuru mengikuti panggilan hati dan passionnya, mendalami soal pembangunan stasiun kereta api, meski harus ke Tokyo.
Ironisnya, Tsukuru sendiri tidak mengerti betapa dirinya dianggap faktor pelengkap semacam jangkar dan pusat keseimbangan yang menenangkan dalam komunitas, sementara dirinya justru merasa bukan apa-apa di dalam komunitas dibanding keempat rekan seklubnya itu.
Baca Juga: Hendrajit: Membaca Bob Dylan Dari Buku Bacaannya
Sehingga ketika dirinya dipecat dari komunitas ketika sudah beberapa tahun di Tokyo, dirinya merasa dikucilkan dan menumbuhkan luka yang dalam di hatinya, meski di permukaan dia baik baik saja. Malah akhirnya jadi orang sukses.
Namun menurut saya masih ada sebuah pesan lagi yang secara halus diselipkan oleh Murakami dalam novelnya ini. Baik atau buruknya nasib kita kini dan mendatang, sangat tergantung pada cara pandang dan sikap kita melihat sejarah atau masa lalu.
Dengan kata lain, kalau mau membuat masa depan kita lebih baik, kita harus mereparasi masa lalu kita. Dalam cara melihat maupun bersikap dalam memandang sejarah.
Baca Juga: Hendrajit: Soedjatmoko Percaya Raja Jawa Bisa Memerintah Karena Dapat Wangsit
Jepang, China, India, Venezuela, Brazil, merupakan contoh bangsa-bangsa yang mampu bangkit dan maju dari keterpurukan, karena mampu dan mau mengubah cara pandangnya dalam melihat sejarah bangsanya.
(Oleh Hendrajit, pengamat geopolitik) ***