Oleh Supriyanto Martosuwito*
ORBITINDONESIA.COM - Jurnalis adalah profesi mulia, yang selalu diperlukan sepak terjang, liputan dan laporannya - analisis dan opininya - di tengah masyarakat untuk menjelaskan duduk perkara. Dari suatu kejadian dan peristiwa aktual di sekitar kita dan dunia.
Akan tetapi, jurnalis juga bisa menjadi sosok jahat luar biasa. Bahkan liputannya mampu merusak suatu negara. Apalagi jika jurnalisnya bekerja di media besar, media kondang, arus utama atau media ‘mainstream’.
Baca Juga: Dewan Pers: Konten Podcast TEMPO tentang Erick Thohir Melanggar 3 Pasal Kode Etik Jurnalistik
Judith Miller adalah contoh yang nyata. Dia jurnalis andalan di ‘the New York Times’ selama beberapa dekade -- berpengalaman menjalani tugas di biro Washington DC, Kairo, Paris - dan koresponden khusus untuk Teluk Persia, di unit khusus di Irak. Dia bekerja di biro ‘NY Times’ di Washington sebelum bergabung dengan Fox News pada tahun 2008.
Kredibilitasnya tak diragukan. Bahkan dia masuk tim penilai Pulitzer, penghargaan bergengsi wartawan AS. Dia memiliki sumber rahasia yang membumbui eksklusifitas penulisan opininya, sehingga selalu tampil di halaman utama.
Namanya kondang saat menulis tentang dugaan program senjata pemusnah massal (WMD - ‘Weapons of Mass Destruction’) Irak sebelum dan sesudah invasi tahun 2003
Baca Juga: Rekomendasi 5 Restoran Tempo Dulu di Jakarta, Ada yang Sudah Buka Sejak Tahun 1960
Sejak lima tahun sebelumnya, di tahun 1998, dia menyebarkan cerita-cerita tentang ancaman senjata pemusnah massal Irak. Menjelang invasi, berita-berita di halaman depannya di NYT dikutip oleh pemerintahan Bush sebagai bukti bahwa Saddam harus segera disingkirkan.
Namun tulisannya kemudian diketahui didasarkan pada informasi palsu. Omong kosong.
Liputannya, analisisnya dan opininya tentang senjata pemusnah massal di Timur Tengah berakibat fatal. Karena dimanfaatkan Presiden George W. Bush menyerbu negeri itu, di tahun 2003. Presiden Sadam Hussein digantung. Meluluhlantakkan negara pewaris peradaban Babilonia yang memiliki sejarah ribuan tahun dan setelahnya konflik tak berkesudahan.
Baca Juga: Tempo Meminta Maaf Ke Erick Thohir
Setahun sesudahnya, pada 2004, ‘New York Times’ menerbitkan editorial yang mengakui bahwa mereka secara tidak kritis mempropagandakan klaim sumber intelijen mereka, dan berkontribusi pada "pola informasi yang salah" secara keseluruhan terkait dengan ambisi nuklir Irak.
Judith Miller pun meminta maaf dan mengakui liputannya banyak cacat.
‘The Wall Street Journal’ edisi 3 April 2015, menerbitkan artikel opini Miller yang berisi pembelaan atas sikapnya menjelang perang di Irak, serta sikap dan keputusan pemerintahan Bush mengenai perang tersebut.
Baca Juga: Moeldoko Adukan Majalah Tempo ke Dewan Pers
Dia mengakui bahwa "banyak sekali kesalahan mengenai Irak, dan saya juga melakukan hal yang sama (salah.pen). Klaim-klaim yang layak diberitakan dari beberapa cerita WMD saya sebelum perang adalah salah."
Namun Miller juga berkelit, bahwa "saya tidak membawa Amerika berperang di Irak,” katanya.
WMD yang sebelumnya melekat dengan nama liputan Judith Miller; “Weapons of Mass Destruction” berganti menjadi sebutan olok-olok: “Woman of Mass Destruction”! Perempuan Penghancur Massal!
Baca Juga: Yadi Heriyadi Hendriana Dewan Pers: Pak Bahlil Sudah Mengadukan Tempo
Diketahui juga di hari kemudian, sejak awal karirnya di 'NYTimes', Miller memasukkan informasi yang salah dari CIA ke dalam artikel mengenai Libya, dia selalu menjadi alat kekuasaan. Dia adalah “pengisi suara” Departemen Pertahanan, yang dimuat di 'Times'.
Masalahnya, negeri Irak sudah telanjur porak poranda, hancur lebur, luluh lantak, dan Saddam Hussein sudah digantung. Menyusul Libya dengan tudingan yang sama, membuat Moammar Khadafi tewas mengenaskan di jalan, pemerintahan tumbang dan negerinya terus dilanda konflik.
Skandal Judith Miller dan ‘New York Times’ menegaskan bahwa jurnalis ternama di media kondang - media arus utama (mainstream) - bukan jaminan bagi beredarnya berita terpercaya.
Baca Juga: Marah Sakti Siregar: Tempo vs Bahlil, Majalah Tempo Tidak Perlu Meminta Maaf
Bahwa wartawan media utama juga bisa menyebarkan berita bohong, plintiran, bisa dimanfaatkan oleh pebisnis senjata, menjadi kaki tangan politisi yang berkepentingan, pengobar konflik, politisi mabuk kuasa, partai yang tersisih, oposan, dan kelompok kalah.
Selain 'New York Times', 'CNN', dan 'Fox News' juga sering terlibat dalam kontroversi terkait dengan penyebaran berita yang tidak sepenuhnya diverifikasi, terutama dalam konteks politik.
Media sering terjebak dalam perang narasi, dengan masing-masing sisi politik yang mencoba mengontrol informasi yang disebarkan kepada publik. Ini menciptakan ketidak-percayaan terhadap media di kalangan banyak orang, yang merasa bahwa berita yang mereka terima dipengaruhi oleh bias politik.
Framing, dramatisasi berita, konflik kepentingan, penyensoran, eksploitasi privacy, pengabaian etika dan pelaporan yang bias, sensasionalisme demi clickbait, dan penyimpangan lainnya dilakukan dan lazim tampil di media arus utama.
Walter Lippmann, jurnalis kawakan, yang juga pemikir dan pakar Komunikasi Amerika Serikat, pernah menyatakan, “berita dan kebenaran bukanlah hal yang sama - “the news and the truth are not the same thing”. - Karena berita tidak selalu mencerminkan kebenaran sepenuhnya.
Tokoh media di AS ini mengingatkan pentingnya untuk tidak menganggap berita sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Baca Juga: PWI Gelar Kongres Luar Biasa 18-19 Agustus 2024
“Berita bisa mengarahkan opini publik, tetapi tidak selalu merefleksikan realitas secara objektif. Media dan jurnalis perlu diingatkan akan tanggung jawab mereka dalam menyajikan informasi dengan cara yang adil dan akurat.”
Karir jurnalisme Judith Miller berakhir menyedihkan, menunjukkan sisi gelap ‘Ratu Dunia’ - julukan orang pers di masa lalu. Dia membawa peran antagonis dalam dunia pers. Reputasinya hancur dan sempat menebus dalam penjara karena menolak menyebut sumber beritanya - meski akhirnya nama yang disembunyikan terbongkar juga.
Akan tetapi sosok seperti dirinya; ‘Judith Miller-Judith Miller’ lainnya - muncul di tempat lain. Juga di Indonesia, negeri tercinta kita.
Kita sama sama tahu, ada jurnalis teve kondang kita yang menebarkan ketakutan dengan memposting tagar “Indonesia Darurat” dan mendorong massa turun ke jalan. Hampir saja terjadi kerusuhan karenanya - jika saja pemerintah tidak sigap mengantisipasi.
Ada juga jurnalis media mingguan ternama - generasi baru atas nama majalah legenda di masa lalu, menebarkan isu-isu yang tidak jelas bermodal info samar, “sumber yang tak mau disebut namanya” - “info A-1” dan sebutan sebutan misteri yang hanya jurnalis itu dan Tuhan yang tahu. Untuk menutupi berita 'hoaks' yang disebarkannya tanpa rasa bersalah.
Bagaimana jurnalisme dipraktikkan tanpa posisi moral? Setiap jurnalis adalah seorang moralis. Tidak dapat dielakkan dan dihindari. Jurnalisme adalah jajaran garis depan pengajar moral dan etika kepada publiknya.
Tapi - jika jurnalisnya, yang merasa sudah senior dan berambisi jadi menteri, namun gagal, masalah moral menjadi tak penting lagi. Etika pun ditabrak. Dia sudah jadi aktifis pemburu jabatan
Gagal menjadi menteri sungguh menyakitkan. Apalagi rekan rekan seprofesinya, seangkatan dan juniornya, sudah jadi menteri dan wakil tanpa menebarkan ketakutan dan tagar ‘Peringatan Darurat’.
*Supriyanto Martosuwito adalah penulis dan pengamat sosial. ***