Media sering terjebak dalam perang narasi, dengan masing-masing sisi politik yang mencoba mengontrol informasi yang disebarkan kepada publik. Ini menciptakan ketidak-percayaan terhadap media di kalangan banyak orang, yang merasa bahwa berita yang mereka terima dipengaruhi oleh bias politik.
Framing, dramatisasi berita, konflik kepentingan, penyensoran, eksploitasi privacy, pengabaian etika dan pelaporan yang bias, sensasionalisme demi clickbait, dan penyimpangan lainnya dilakukan dan lazim tampil di media arus utama.
Walter Lippmann, jurnalis kawakan, yang juga pemikir dan pakar Komunikasi Amerika Serikat, pernah menyatakan, “berita dan kebenaran bukanlah hal yang sama - “the news and the truth are not the same thing”. - Karena berita tidak selalu mencerminkan kebenaran sepenuhnya.
Baca Juga: Dewan Pers: Konten Podcast TEMPO tentang Erick Thohir Melanggar 3 Pasal Kode Etik Jurnalistik
Tokoh media di AS ini mengingatkan pentingnya untuk tidak menganggap berita sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
“Berita bisa mengarahkan opini publik, tetapi tidak selalu merefleksikan realitas secara objektif. Media dan jurnalis perlu diingatkan akan tanggung jawab mereka dalam menyajikan informasi dengan cara yang adil dan akurat.”
Karir jurnalisme Judith Miller berakhir menyedihkan, menunjukkan sisi gelap ‘Ratu Dunia’ - julukan orang pers di masa lalu. Dia membawa peran antagonis dalam dunia pers. Reputasinya hancur dan sempat menebus dalam penjara karena menolak menyebut sumber beritanya - meski akhirnya nama yang disembunyikan terbongkar juga.
Baca Juga: Rekomendasi 5 Restoran Tempo Dulu di Jakarta, Ada yang Sudah Buka Sejak Tahun 1960
Akan tetapi sosok seperti dirinya; ‘Judith Miller-Judith Miller’ lainnya - muncul di tempat lain. Juga di Indonesia, negeri tercinta kita.
Kita sama sama tahu, ada jurnalis teve kondang kita yang menebarkan ketakutan dengan memposting tagar “Indonesia Darurat” dan mendorong massa turun ke jalan. Hampir saja terjadi kerusuhan karenanya - jika saja pemerintah tidak sigap mengantisipasi.
Ada juga jurnalis media mingguan ternama - generasi baru atas nama majalah legenda di masa lalu, menebarkan isu-isu yang tidak jelas bermodal info samar, “sumber yang tak mau disebut namanya” - “info A-1” dan sebutan sebutan misteri yang hanya jurnalis itu dan Tuhan yang tahu. Untuk menutupi berita 'hoaks' yang disebarkannya tanpa rasa bersalah.
Baca Juga: Tempo Meminta Maaf Ke Erick Thohir
Bagaimana jurnalisme dipraktikkan tanpa posisi moral? Setiap jurnalis adalah seorang moralis. Tidak dapat dielakkan dan dihindari. Jurnalisme adalah jajaran garis depan pengajar moral dan etika kepada publiknya.