Wilson Lalengke: Balada PWI dan KPK di Lingkaran Kekuasaan
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Minggu, 11 Agustus 2024 11:00 WIB
Oleh: Wilson Lalengke*
ORBITINDONESIA.COM - Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (Lord Acton, 1887). Terjemahan bebas kira-kira begini: Kekuasaan hampir pasti melahirkan korupsi dan kekuasaan mutlak pasti memperanakkan korupsi secara mutlak.
Ungkapan itu merupakan bagian dari tulisan bangsawan Inggris, John Emerich Edward Dalberg-Acton, kepada Uskup Creighton dalam suratnya yang membahas masalah moral dalam proses peradilan. Acton menekankan keharusan penerapan standar moral yang sama kepada semua orang, tidak terkecuali terhadap tokoh politik dan pemimpin agama.
Baca Juga: Tessa Mahardika Sugiarto: KPK Geledah Tiga Rumah Terkait Dugaan Korupsi di Perusahaan Gas Negara
Adagium Acton tersebut telah menjadi rujukan bagi banyak negara dalam membangun prinsip-prinsip negara domokrasi yang membatasi kekuasaan, baik kekuasaan pemerintahan, kekuasaan bisnis, maupun lembaga dan organisasi non pemerintahan lainnya.
Pembatasan-pembatasan yang diterapkan melalui pembuatan undang-undang itu bertujuan agar setiap orang atau kelompok orang tidak menggunakan kekuasaan yang dipegangnya secara sewenang-wenang, yang akan menggiring seseorang menggunakan kekuasaan tanpa batas.
Pembatasan kekuasaan itu pada hakekatnya ditujukan untuk menghindarkan diri para pemegang kekuasaan dari perilaku koruptif.
Baca Juga: Solo yang Dipimpin Gibran Rakabuming Raka Dijadikan Percontohan Kota Antikorupsi Oleh KPK
Berdasarkan daftar penilaian korupsi negara-negara di dunia yang diterbitkan oleh Global Transparency International tahun 2023, Indonesia menduduki posisi ke-115 dari 180 negara dengan score 34. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga Singapura dan Vietnam. Bahkan, negara bekas provinsi ke-27 Republik Indonesia, Timor Leste, justru bertengger di posisi yang jauh lebih baik, yakni peringkat ke-77.
Korupsi di Indonesia bukanlah hal baru. Perilaku koruptif di kalangan bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu kala. Konon di zaman Kerajaan Majapahit, setiap pelaku korupsi akan dihukum berat.
Dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca disebutkan bahwa orang yang mengurangi penghasilan (gaji) atau makanan pekerja, atau mengkorupsi dengan cara mempersempit sawah orang lain, orang tersebut dianggap sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati. Hukuman mati biasanya berupa dipenggal kepala, dibakar hidup-hidup, hukum gantung, atau diseret oleh gajah.
Baca Juga: Kejaksaan Agung Sita Aset Enam Tersangka Korupsi Tata Kelola Komoditas Berupa 109-Ton Emas
Suatu waktu di awal tahun 1970-an, seorang camat berkunjung ke desa saya di wilayah Morowali Utara. Dari koridor rumah bambu kami, saya yang masih kanak-kanak memandangi sang camat lewat di jalan depan rumah. Dia terlihat agak sempoyongan dengan perut buncitnya yang mirip ibu hamil 9 bulan.