DECEMBER 9, 2022
Kolom

Selamat Datang, Angkatan Puisi Esai

image
Ilustrasi. (PIXABAY/Carola68)

Oleh: Ahmad Gaus AF

ORBITINDONESIA.COM - “Kehebohan atas lahirnya puisi esai melampaui kehebohan semua peristiwa sastra di Indonesia.” 

Kata-kata itu diucapkan oleh Agus R. Sarjono, di acara Festival Puisi Esai ASEAN ke-3 di Sabah, Malaysia, pada 8 Juni 2024.1 Sebagai penyair dan sekaligus pengamat sejarah sastra, Agus tentu memiliki alasan ketika mengemukakan pandangannya yang terkesan bombastis tersebut. Sebab, sejarah sastra di tanah air tidak pernah sepi dari gejolak, baik gejolak internal menyangkut karya itu sendiri maupun peristiwa politik yang melibatkan, atau menyeret, sastra ke kancah pertarungan ideologi dan kekuasaan. Dan, dari berbagai peristiwa itu, Agus menyebut gejolak di seputar puisi esailah yang paling heboh.

Klaim seputar kehebohan di sekitar kelahiran dan perkembangan puisi esai sebenarnya sudah cukup lama. Misalnya, dalam acara debat puisi esai yang gelar oleh Yayasan Budaya Guntur pimpinan dramawan dan aktivis Isti Nugroho pada 16 Februari 2018 di Jakarta, telah muncul pernyataan bahwa kontroversi puisi esai merupakan yang paling heboh sejak kemerdekaan.2 Acara debat itu menghadirkan dua kubu pro kontra atas puisi esai. Kubu pro diwakili oleh kritikus sastra Narudin dan penyair Krt Agus Nagoro, dan kubu kontra diwakili oleh Saut Situmorang dan Eko Tunas. Dua nama terakhir ini, selain banyak nama sastrawan lainnya, telah melakukan perlawanan terhadap puisi esai sejak pertama kali puisi ini diklaim sebagai genre baru dalam sastra Indonesia.

Suasana debat yang sangat riuh itu sempat terhenti ketika seorang partisipan mengatakan bahwa semakin kita meributkan puisi esai justru akan membuat puisi ini semakin terkenal.  Dan itu akan menguntungkan Denny JA sebagai penggagas puisi esai. “Jadi sebaiknya kita hentikan debat-debat semacam ini; mari kembali ke habitat masing-masing dan berkarya.”

Sebuah ajakan yang disambut dingin oleh para peserta. Tapi, mungkin dia benar. Kontroversi sekitar puisi esai ikut berkontribusi terhadap popularitas puisi esai itu sendiri karena mendorong terjadinya diskusi di ruang publik. Sejauh mana tingkat kontribusinya? Masih menjadi pertanyaan. Studi yang dilakukan oleh Chen dan Berger menyebutkan bahwa hubungan antara kontroversi dan diskusi publik didorong oleh dua proses yang berlawanan. Kontroversi meningkatkan kemungkinan terjadinya diskusi namun secara bersamaan meningkatkan ketidaknyamanan, yang menurunkan kemungkinan terjadinya diskusi.3

Dalam konteks puisi esai, jelas terjadi ketidaknyamanan, khususnya yang dialami oleh para pendukung puisi ini, karena mereka menjadi sasaran pembullyan yang nyaris tidak berkesudahan. Bahkan tidak sedikit penyair yang semula menulis puisi esai, akhirnya menarik dari dan tidak mau menjadi bagian dari gerakan puisi esai. 

Bagusnya, karya-karya puisi esai terus bermunculan dan perkembangannya terus berlangsung tanpa terganggu oleh, atau tergantung pada, kontroversi yang mengelilinginya. Artinya, puisi esai tumbuh dan berkembang karena proses kreatif di dalam dirinya sendiri. 

Debat puisi esai yang digelar oleh Yayasan Budaya Guntur pada 2018 itu sendiri berlangsung sebanyak enam kali. Dan pada masa itu sudah terbit 70 buku puisi esai yang ditulis oleh 250 penulis puisi esai di seluruh provinsi, dari Aceh hingga Papua. Menurut Narudin, perkembangan semacam itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa kini (saat itu, 2018) telah lahir angkatan baru dalam sastra Indonesia yaitu Angkatan Puisi Esai.

Klaim Agus R. Sarjono tentang kelahiran Angkatan Puisi Esai lebih kuat lagi. Karena pada saat dia mengatakan itu sudah terbit lebih dari 100 buku puisi esai dan puluhan kajian puisi esai yang ditulis oleh kritikus dalam dan luar negeri.

Di forum Sabah itu Agus menyinggung soal awal mula munculnya puisi esai di tahun 2012, yang diawali dengan terbitnya buku Atas Nama Cinta karya Denny JA.4  Buku itu oleh Agus dianggap sebagai  buku 'aneh' karena berisi puisi tapi bukan puisi, cerpen atau esai tapi berlarik-larik, bukan makalah tapi bercatatan kaki. Terbitnya buku puisi esai Atas Nama Cinta itu kemudian mendorong munculnya buku demi buku lainnya yang setipe. Semua buku itu, ujar Agus, memiliki basis estetika yang sama: semuanya mengelola tema-tema yang sama mengenai orang-orang yang terdiskriminasi atau terpinggirkan oleh sejarah atau sosial politik.

Jurnal Sajak yang dikelola oleh Agus R. Sarjono dkk sejak edisi ketiga membuka rubrik baru, yakni rubrik puisi esai dengan redaktur Ahmad Gaus. Dalam beberapa edisi berikutnya, Jurnal Sajak beberapa kali menyelenggarakan lomba penulisan puisi esai yang membuat redaksi cukup kewalahan karena harus menyeleksi ribuan karya yang masuk dari seluruh Indonesia. Mereka yang pada mulanya tidak berani menulis puisi apalagi mempublikasikannya, melalui media baru puisi esai ini tumbuh keberanian. Sebab, puisi esai memang bisa ditulis oleh siapa saja. Ini sesuai dengan kredo puisi esai: “Yang bukan penyair boleh ambil bagian.”

Penyebaran ke Manca Negara

Dalam perkembangannya kemudian, gerakan puisi esai juga meluas ke Sabah, Malaysia, berkat kepeloporan sastrawan Datuk Jasni Matlani. Sabah bahkan disebut sebagai Ibu kota Puisi Esai. Menarik bahwa di Sabah perkembangan puisi esai digerakkan bersama secara swadaya oleh Matlani dkk, dan kemudian mendapat dukungan dana dari pemerintah setempat. Dari Malaysia, puisi esai menyebar ke Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura.

Sejak kelahirannya pada 2012 sudah banyak hal terjadi dalam perpuisiesaian. Mengutip Agus, dalam sejarah sastra Indonesia selama rentang 24 tahun setelah Angkatan 2000 boleh dibilang dinamika besar-besaran diisi oleh fenomena baru, yakni Puisi Esai. Karena itu Agus tidak ragu-ragu mengatakan bahwa puisi esai telah melahirkan Angkatan baru dalam sastra Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa lahirnya Angkatan Puisi Esai dilengkapi dengan 4 buku antologi yang masing-masingnya tidak kurang dari 500 halaman. Empat buku antologi tersebut adalah:

1. Angkatan Puisi Esai: Kelahiran dan Masa-masa Awal (2012-2015);

2. Angkatan Puisi Esai: Menuju Indonesia (2016-2019);

3. Angkatan Puisi Esai: Menuju Mancanegara (2020-2024); dan

4. Angkatan Puisi Esai: Menuju Kritik Sastra Tempatan (2012-2024).

Sebelumnya kita telah mengenal istilah angkatan dalam periodisasi sejarah sastra Indonesia, seperti Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, Angkatan 70, dan Angkatan 2000. Periodisasi itu berfungsi untuk mengklasifikasikan karya sastra berdasarkan ciri-ciri tertentu yang muncul dalam periode-periode tersebut. Ada beberapa faktor yang membedakan satu angkatan dengan angkatan lainnya, antara lain:

1. Konteks Sosial dan Politik: Setiap angkatan dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik pada masa itu. Misalnya, Angkatan 45 muncul setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan mengekspresikan semangat perjuangan serta kebangsaan, sedangkan Angkatan 66 dipengaruhi oleh peristiwa politik tahun 1965 dan perubahan sosial yang menyertainya.

2. Tema dan Gaya: Setiap angkatan memiliki tema dan gaya penulisan yang khas. Angkatan Balai Pustaka lebih menekankan pada penggambaran realisme sosial dan kehidupan sehari-hari, sementara Angkatan Pujangga Baru lebih mengedepankan estetika dan pemikiran yang modern.

3. Latar Belakang Penulis: Penulis yang tergabung dalam satu angkatan biasanya memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang serupa, serta saling mempengaruhi dalam karya-karya yang dihasilkan. Hal inilah yang menciptakan kesamaan dalam suara dan visi literer.

Mengapa perlu ada Angkatan Puisi Esai? Secara umum angkatan sastra menunjukkan adanya periodisasi, sehingga para akademisi dan peneliti dapat lebih mudah dalam mempelajari dan memahami perkembangan sastra Indonesia. Ini membantu dalam analisis kritik sastra dan tren penulisan. Angkatan sastra juga mengidentifikasi ciri khas yang dapat dikenali, dan membantu dalam mengidentifikasi dan menghargai keragaman dalam sastra Indonesia.

Periodisasi juga berfungsi untuk mendokumentasikan sejarah sastra Indonesia, mencatat evolusi dan perubahan yang terjadi dalam tradisi dan kreativitas sastra seiring dengan perkembangan masyarakat. Periodisasi membantu membangun identitas sastra nasional, di mana tiap angkatan dapat dilihat sebagai representasi dari suara dan nilai-nilai masyarakat pada waktu tertentu. Selain itu, periodisasi menginspirasi penulis baru untuk menyumbangkan ide-ide segar berdasarkan pengaruh angkatan sebelumnya, serta menciptakan dialog antar angkatan.

Melalui pemahaman akan angkatan-angkatan sastra ini, kita dapat lebih menghargai kekayaan dan keragaman karya sastra Indonesia serta konteks di mana mereka diciptakan. Puisi Esai yang diperkenalkan oleh Denny JA melalui buku Atas Nama Cinta memang merupakan sebuah inovasi dalam dunia sastra Indonesia. Genre ini menggabungkan elemen puisi dan esai, menciptakan bentuk yang unik dan menarik.

Buku puisi Atas Nama Cinta diterbitkan sebagai salah satu program Indonesia Tanpa Diskriminasi. Karena itu, isi buku tersebut ialah isu-isu seputar diskriminasi agama, gender, ras, dan orientasi seksual. Semua isu tersebut, menurut Denny JA, tidak cocok bila disampaikan dalam tulisan biasa atau tulisan akademik karena hanya akan bernilai analitik dan informatif belaka. Sedangkan ia menginginkan sebuah tulisan yang menyentuh hati, menggugah rasa kemanusiaan — sesuai dengan isu yang diangkatnya. Ia membutuhkan medium lain. Dan ia memilih puisi.

Namun, puisi-puisi yang ia kenal selama ini dirasa kurang bisa menampung gejolak batin yang mendesak-desak untuk segera ditumpahkan. “Saya seperti sedang hamil tua,” ujarnya, saat mencari medium untuk menyalurkan kegelisahannya menyaksikan kasus-kasus diskriminasi yang belakangan marak terjadi. Dan sebagaimana diakuinya sendiri, melalui suatu permenungan yang panjang, akhirnya ia menemukan sebuah medium yang kemudian ia beri nama puisi esai. 

Sebagaimana umumnya karya sastra, puisi esai adalah fiksi. Namun, Denny JA mencantumkan fakta peristiwa kongkret dalam puisi-puisi esainya, yang dibuat dalam catatan kaki, sehingga secara keseluruhan puisi esai dapat dibaca seperti  sebuah karya  semi dokumenter. Jelas ini tidak lazim. Kalaupun puisi konvensional bisa saja mencantumkan catatan kaki, biasanya catatan kaki itu hanya difungsikan untuk menuliskan keterangan istilah atau hal-hal teknis tertentu. Tapi dalam puisi esai, catatan kaki ialah bagian integral dari tubuh puisi. Betapa tidak, kisah-kisah yang diangkat di dalam puisi esai justru dibangun dari fakta peristiwa yang ada di dalam catatan kakinya. 

Hal ini berbanding terbalik dengan karya-karya akademik dimana gagasan pokok membangun catatan kaki, dengan demikian catatan kaki hanya sebagai pelengkap, bahkan dalam suatu tulisan ilmiah popular catatan kaki itu bisa saja dihilangkan demi efisiensi atau tujuan lainnya. Dalam puisi esai tidak bisa. Tubuh puisi dan catatan kakinya adalah satu kesatuan. Seperti raga dan jiwanya. Jika salah satunya hilang maka ia tidak menjadi puisi esai. Bahkan tidak menjadi puisi, dan tidak pula menjadi esai. 

Itulah ke-“celaka”-an puisi esai yang dituduhkan oleh banyak orang. Tapi tidak setiap ke-”celaka”-an adalah buruk.  Dalam kasus puisi esai, jelas sekali bahwa kritik dan kecaman yang diarahkan kepadanya, termasuk dan terutama kepada Denny JA selaku penggagasnya, justru membuatnya semakin matang dan berwibawa. Berbagai reaksi pro-kontra seakan menyediakan ruang bagi dirinya untuk diuji dalam laboratorium sejarah sastra. Sejauh ia mampu menyerap berbagai kritik itu menjadi vitamin, sejauh itu pula ia akan tumbuh dan berkembang. Faktanya sudah lebih dari satu dasawarsa polemik seputar puisi esai terus bergulir. Kehebohannya seakan tak kunjung usai. 

Keabsahan sebuah Angkatan

Diakui atau tidak, Denny JA akhirnya menjadi fenomena tersendiri dalam sastra. Selain karena kegaduhan-kegaduhan itu, juga karena visinya tentang masa depan sastra, dan khususnya puisi, yang ia kaitkan dengan era baru yang meniscayakan kebutuhan pada puisi genre baru, dengan kemasan baru, cara penyajian baru, dan melibatkan seni marketing dalam pemasaran karyanya, sehingga lebih dikenal masyarakat. Semua itu fenomena baru, belum pernah ada dalam sastra Indonesia.5 Maka klaim bahwa generasi puisi esai telah lahir sebagai angkatan baru dalam sastra Indonesia menjadi absah.

Pengkategorian puisi esai ke dalam angkatan tersendiri dilakukan berdasarkan karakteristik yang konsisten dan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan sastra. Puisi esai memiliki ciri khas yakni antara lain, seperti sudah disebutkan di atas, adanya catatan kaki yang merujuk pada suatu peristiwa, dan berdasarkan peristiwa itu penyair menulis puisinya. Jadi puisi esai ditulis bukan berdasarkan pada imajinasi kosong. 

Sudah banyak penulis yang terinspirasi dan menciptakan karya-karya dalam format puisi esai. Artinya, genre ini memengaruhi perkembangan sastra Indonesia secara lebih luas. Perkembangan itu menyangkut evolusi dalam rentang waktu tertentu. Dan puisi esai absah menjadi sebuah angkatan karena ia terbukti memiliki daya tahan dan evolusi dalam jangka panjang.

Apalagi, dalam konteks ini, kita melihat adanya penerimaan dan pengakuan yang melibatkan para pengkaji, kritikus, akademisi, dan masyarakat luas. Menurut Agus R. Sarjono, jumlah kritik, bahasan, atau kajian mengenai puisi esai cukup berlimpah dan ditulis oleh pakar dari beragam latar belakang, mulai dari sastrawan seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, Acep Zamzam Noor, Eka Budianta, Joko Pinurbo.  Juga kajian dari Jamal D. Rahman, Nenden Lilis Aisyah, Hanna Fransisca, S.M. Zakir, dsb, intelektual seperti Ignas Kleden, Berthold Damshäuser, Jakob Sumardjo, maupun akademisi seperti Dr. Ramzah Danbul, Prof. Ayu Sutarto, Dr. Sunu Wasono, Prof. Madya Dr. Haji Ampuan Haji Tengah, dan lain-lain.

Satu hal mencolok yang menjadi pembeda antara Angkatan Puisi Esai dengan Angkatan Sastra sebelumnya adalah bahwa Angkatan Puisi Esai melengkapi dirinya bukan hanya dengan karya-karya yang berlimpah namun juga  dengan antologi kritik, bahasan, dan kajian yang dilakukan oleh para sastrawan dan akademisi. 

Akhirnya, mari kita ucapkan: Selamat datang angkatan baru, Angkatan Puisi Esai. Kehadiran Anda semua merupakan pengakuan atas kontribusi signifikan genre ini terhadap dunia sastra nasional. Melalui langkah ini, kita tidak hanya menghormati para penyair yang telah berkontribusi dalam pertumbuhan dan perkembangan puisi esai, tetapi juga membuka jalan bagi generasi baru untuk terus berkarya dan berinovasi dalam bidang sastra.***

Penulis Ahmad Gaus AF adalah penyair dan esais. 

Tulisan ini disiapkan untuk menyambut Festival Puisi Esai II di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 13-14 Desember 2024.

Catatan:

1. Lahirnya Angkatan Puisi Esai Melampaui Kehebohan Semua Peristiwa Sastra di Tanah Air, https://www.infoindonesia.id/info-warna-warni/96112864837/lahirnya-angkatan-puisi-esai-melampaui-kehebohan-semua-peristiwa-sastra-di-tanah-air, 8 Juni 2024

2. Kontroversi Puisi Esai Paling Heboh Sejak Kemerdekaan, https://news.republika.co.id/berita/p48yfg313/kontroversi-puisi-esai-paling-heboh-sejak-kemerdekaan, Jumat 16 Feb 2018

3. Zoey Chen and Jonah Berger, “When, Why, and How Controversy Causes Conversation,” Journal of Consumer Research, Vol. 40, No. 3 (October 2013), pp. 580-593, Oxford University Press

4. Denny JA, Atas Nama Cinta: Sebuah Puisi Esai, Jakarta, Renebook, 2012: Buku ini memperkenalkan konsep puisi esai di Indonesia dan menjadi titik awal bagi banyak penyair untuk menulis puisi dalam genre tersebut. 

5. Ahmad Gaus, Pergolakan Puisi Esai: Membawa Puisi Kembali Ke Masyarakat, Jakarta, Inspirasi.co, 2018

Halaman:

Berita Terkait