Selamat Datang, Angkatan Puisi Esai
- Minggu, 15 Desember 2024 15:39 WIB
1. Konteks Sosial dan Politik: Setiap angkatan dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik pada masa itu. Misalnya, Angkatan 45 muncul setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan mengekspresikan semangat perjuangan serta kebangsaan, sedangkan Angkatan 66 dipengaruhi oleh peristiwa politik tahun 1965 dan perubahan sosial yang menyertainya.
2. Tema dan Gaya: Setiap angkatan memiliki tema dan gaya penulisan yang khas. Angkatan Balai Pustaka lebih menekankan pada penggambaran realisme sosial dan kehidupan sehari-hari, sementara Angkatan Pujangga Baru lebih mengedepankan estetika dan pemikiran yang modern.
3. Latar Belakang Penulis: Penulis yang tergabung dalam satu angkatan biasanya memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang serupa, serta saling mempengaruhi dalam karya-karya yang dihasilkan. Hal inilah yang menciptakan kesamaan dalam suara dan visi literer.
Mengapa perlu ada Angkatan Puisi Esai? Secara umum angkatan sastra menunjukkan adanya periodisasi, sehingga para akademisi dan peneliti dapat lebih mudah dalam mempelajari dan memahami perkembangan sastra Indonesia. Ini membantu dalam analisis kritik sastra dan tren penulisan. Angkatan sastra juga mengidentifikasi ciri khas yang dapat dikenali, dan membantu dalam mengidentifikasi dan menghargai keragaman dalam sastra Indonesia.
Periodisasi juga berfungsi untuk mendokumentasikan sejarah sastra Indonesia, mencatat evolusi dan perubahan yang terjadi dalam tradisi dan kreativitas sastra seiring dengan perkembangan masyarakat. Periodisasi membantu membangun identitas sastra nasional, di mana tiap angkatan dapat dilihat sebagai representasi dari suara dan nilai-nilai masyarakat pada waktu tertentu. Selain itu, periodisasi menginspirasi penulis baru untuk menyumbangkan ide-ide segar berdasarkan pengaruh angkatan sebelumnya, serta menciptakan dialog antar angkatan.
Melalui pemahaman akan angkatan-angkatan sastra ini, kita dapat lebih menghargai kekayaan dan keragaman karya sastra Indonesia serta konteks di mana mereka diciptakan. Puisi Esai yang diperkenalkan oleh Denny JA melalui buku Atas Nama Cinta memang merupakan sebuah inovasi dalam dunia sastra Indonesia. Genre ini menggabungkan elemen puisi dan esai, menciptakan bentuk yang unik dan menarik.
Buku puisi Atas Nama Cinta diterbitkan sebagai salah satu program Indonesia Tanpa Diskriminasi. Karena itu, isi buku tersebut ialah isu-isu seputar diskriminasi agama, gender, ras, dan orientasi seksual. Semua isu tersebut, menurut Denny JA, tidak cocok bila disampaikan dalam tulisan biasa atau tulisan akademik karena hanya akan bernilai analitik dan informatif belaka. Sedangkan ia menginginkan sebuah tulisan yang menyentuh hati, menggugah rasa kemanusiaan — sesuai dengan isu yang diangkatnya. Ia membutuhkan medium lain. Dan ia memilih puisi.
Namun, puisi-puisi yang ia kenal selama ini dirasa kurang bisa menampung gejolak batin yang mendesak-desak untuk segera ditumpahkan. “Saya seperti sedang hamil tua,” ujarnya, saat mencari medium untuk menyalurkan kegelisahannya menyaksikan kasus-kasus diskriminasi yang belakangan marak terjadi. Dan sebagaimana diakuinya sendiri, melalui suatu permenungan yang panjang, akhirnya ia menemukan sebuah medium yang kemudian ia beri nama puisi esai.
Sebagaimana umumnya karya sastra, puisi esai adalah fiksi. Namun, Denny JA mencantumkan fakta peristiwa kongkret dalam puisi-puisi esainya, yang dibuat dalam catatan kaki, sehingga secara keseluruhan puisi esai dapat dibaca seperti sebuah karya semi dokumenter. Jelas ini tidak lazim. Kalaupun puisi konvensional bisa saja mencantumkan catatan kaki, biasanya catatan kaki itu hanya difungsikan untuk menuliskan keterangan istilah atau hal-hal teknis tertentu. Tapi dalam puisi esai, catatan kaki ialah bagian integral dari tubuh puisi. Betapa tidak, kisah-kisah yang diangkat di dalam puisi esai justru dibangun dari fakta peristiwa yang ada di dalam catatan kakinya.
Hal ini berbanding terbalik dengan karya-karya akademik dimana gagasan pokok membangun catatan kaki, dengan demikian catatan kaki hanya sebagai pelengkap, bahkan dalam suatu tulisan ilmiah popular catatan kaki itu bisa saja dihilangkan demi efisiensi atau tujuan lainnya. Dalam puisi esai tidak bisa. Tubuh puisi dan catatan kakinya adalah satu kesatuan. Seperti raga dan jiwanya. Jika salah satunya hilang maka ia tidak menjadi puisi esai. Bahkan tidak menjadi puisi, dan tidak pula menjadi esai.