DECEMBER 9, 2022
Kolom

Kisah Luqmanul Hakim dan Seekor Keledai, dan Lahirnya Angkatan Puisi Esai

image
Ilustrasi. (PIXABAY/wondermar)

Oleh: Joni Ariadinata

ORBITINDONESIA.COM - Masih ingat kisah Luqmanul Hakim (Luqman Al Hakim) dengan seekor keledai, yang menggambarkan betapa sulit menyatukan pandangan setiap orang tentang suatu hal, --meskipun itu sebuah kebaikan? Nama Luqman tertera dalam Al-Quran, ia adalah orang biasa, dan dari berbagai sumber disebutkan, bahwa Luqman Al Hakim hidup di zaman Nabi.

Kisah tentang Luqman beserta keledainya, adalah kisah paling masyhur  lantaran kelucuan dan unsur parodinya yang cukup menohok.

Dikisahkan, Luqman dan anaknya pergi ke pasar ditemani seekor keledai. Di awal perjalanan, Luqman menyuruh anaknya untuk naik di punggung keledai, sementara Luqman berjalan menuntunnya di depan. 

Ketika melewati sekelompok orang, beberapa diantaranya mereka berkata, mencela anak Luqman yang dianggapnya tak tahu diri. Sebagian menyalahkan bapaknya yang diduga tak becus mendidik anaknya hingga menjadi sombong. “Apakah anak itu tak dididik dengan baik, sehingga tega membiarkan orang yang lebih tua berjalan kaki?” “Anak muda yang sombong!”

Lantaran komentar-komentar itu, maka Luqman menyuruh anaknya berganti peran. Sekarang Luqman yang menaiki keledai, sementara anaknya menuntunnya di depan. Lalu apakah komentar orang-orang yang mereka lewati? “Lihat orang tua itu. Dasar orangtua bebal dan tak punya perasaan.

Bagaimana bisa membiarkan seorang anak berjalan kaki, sementara dia enak-enak di punggung keledai!” Luqman kemudian menyuruh anaknya naik bersama-sama, satu keledai dinaiki berdua. Komentar orang yang melihatnya tak jauh berbeda: “Dua orang itu ahlaknya sangat buruk. Tidakkah harusnya merasa kasihan pada keledai yang menanggung beban berat? Apakah dua orang itu tidak punya belas kasihan pada binatang?”

Terakhir, Luqman dan anaknya sama-sama berjalan kaki, menuntun keledai di depan. Tentu saja dua orang itu menjadi bahan tertawaan dan ledekan. “Mereka itu bodoh sekali. Bukankah keledai itu bisa dinaiki bersama-sama? Atau minimal dinaiki salah satu. Kenapa mereka malah bareng-bareng menuntunnya?” Nah, bagaimana kalau kisah ini diteruskan, dengan keputusan Luqman dan anaknya yang akhirnya memutuskan hal paling tidak masuk akal: yakni memanggul keledai itu bersama-sama? Pastilah serentetan kalimat umpatan yang akan mereka dapatkan: “Dua orang itu penderita penyakit jiwa. Idiot akut. Gila.”

Nasihat Luqman kepada anaknya: “Jangan hiraukan bagaimana orang akan berkata, selama apa yang engkau lakukan diyakini benar, dan mengandung kebaikan”.
***
Dua belas tahun lalu semenjak Puisi Esai pertama kali diperkenalkan oleh penggagasnya (Denny JA) lewat buku Puisi Esai dengan judul Atas Nama Cinta (2012), telah melahirkan banyak eksperimen yang melampaui penggagasnya.

Beragam eksperimen kreatif telah dilakukan baik oleh penyair maupun yang bukan penyair, dengan transformasi merambah ke berbagai media.

Kelebihan puisi esai yang mensyaratkan kemudahan dalam keterbacaan (dengan memasukkan lebih banyak unsur prosa seperti kekuatan cerita, alur, dan karakter tokoh, dengan tidak mengabaikan kedalaman metafora dan keindahan bahasa seperti lazimnya sebuah puisi), serta sekaligus menawarkan petualangan intelektual yang menjadi landasan kenapa ia menulis tema atau masalah tertentu dalam puisi tersebut disertai pertanggungjawaban atas data penelitian berupa sumber/referensi berupa catatan kaki; telah menarik minat berbagai kalangan untuk mencoba.

Tidak saja di kalangan para penyair, akan tetapi lebih banyak di kalangan nonpenyair yang selama ini menganggap bahwa puisi adalah sesuatu yang rumit. Puisi hanya bisa dipahami oleh para pembaca yang secara khusus menaruh minat terhadap sastra. Bahkan yang paling menyedihkan adalah anggapan umum bahwa puisi hanya bisa dipahami oleh para penyair.

Puisi esai membuka jendela yang menawarkan sesuatu pada khalayak umum (khalayak yang bukan penyair), bahwa menulis puisi itu tidak sesulit yang dibayangkan. Bahwa puisi adalah cara lain untuk menulis berbagai hal secara  menyenangkan, sekaligus menawarkan satu kelas bobot intelektual tertentu seperti halnya yang dimiliki  kaum intelektual/akademisi.

Jargon pada puisi esai yang menegaskan bahwa “yang bukan penyair, boleh ambil bagian,” menyiratkan satu penegasan bahwa puisi esai tidak saja mudah ditulis, tapi juga bisa dengan mudah dibaca/dipahami oleh setiap orang. Dengan cara ini, puisi esai membuka ruang lebar untuk menjaring pembaca baru sekaligus penulis baru pada khalayak yang lebih luas: pelajar, mahasiswa, kaum akademis, para profesional di berbagai bidang, pejabat negara, politisi, bahkan ibu rumah tangga. Karya sastra (terutama puisi) yang selama ini selalu bermukim di menara gading, lewat puisi esai dicoba diturunkan tingkat keterbacaannya untuk bisa menjadi bacaan mudah dan menyenangkan bagi semua orang. Tentu, dengan tidak mengobankan mutu, baik dari segi estetika maupun bobot/isi yang merupakan tuntutan mutlak dari karya sastra.

Apa sesungguhnya penyebab anggapan umum bahwa puisi adalah jenis bacaan khusus kalangan tertentu, dan karena itu sulit dipahami? Hal ini menyangkut kesejarahan panjang, dimulai dari pengenalan genre puisi di sekolah-sekolah (bahkan hingga di perguruan tinggi yang membuka jurusan sastra), yang selalu memperlakukan puisi tidak berbasiskan apresiasi, melainkan lebih condong pada teori. 

Puisi-puisi tidak dibaca untuk dinikmati. Tapi puisi-puisi ini, di tangan para guru diperlakukan semacam pasien gawat darurat: ia dibedah dengan penuh ketegangan/keseriusan, dipilah-pilah berdasarkan ketegori, kemudian dianalisis sesuai teori. Teori tentang diksi, majas, metafora, metrum, rima, irama, nada/suasana, pemenggalan kata, unsur ekstrinsik, unsur intrinsik, dan lain sebagainya; yang semuanya harus dipahami baris per baris, kata per kata, membuat  pendakian puisi sedemikian terjal dan rumit. Para siswa tidak diberi kesempatan untuk menikmati kesenangan, tapi sejak mula ditanamkan dalam benak mereka, bahwa puisi itu serupa permainan labirin gelap yang penuh misteri. 

Berawal dari sinilah sesungguhnya, kesan “berat” pada puisi yang membuat banyak orang menjauhinya, dengan anggapan bahwa puisi adalah bacaan khusus untuk kalangan tertentu saja. Nah, puisi esai berusaha membebaskan sitgma semacam ini. 

Puisi esai, lantaran karakteristiknya yang lebih banyak memasukkan unsur prosa dalam bentuk narasi, serta argumen dari hasil riset atas fakta dan data yang diterakan dalam catatan kaki, maka secara fisik puisi esai selalu ditulis dalam format yang panjang. Ini juga yang memberi peluang petualangan pada pembaca, bahwa membaca puisi hampir sama keasyikannya dengan membaca novel. Meskipun dalam pengembangan selanjutnya, beberapa penyair berhasil membuat puisi esai dalam format yang lebih pendek.
***
Kenapa puisi esai tidak mati, seperti harapan para penentangnya? Sebelum menjawab pertanyaan itu, kiranya perlu disegarkan kembali ke dalam memori kolektif, bahwa dalam sejarah sastra di Indonesia, belum pernah ada polemik yang memakan waktu teramat panjang dan berlarut-larut seperti polemik mengenai puisi esai.

Pro dan kontra puisi esai berawal dari semenjak diluncurkannya konsep puisi esai oleh penggagasnya Denny JA (2012), yang terus bergulir dari tahun ke tahun, bahkan sisa-sisa residunya masih terasa hingga sekarang (2024). Dua tahun awal (2012-2014) adalah pertentangan paling keras, berbagai serangan pada konsep, hingga merembet pada persekusi verbal secara personal.

Bahkan salah satu persekusi verbal yang menyerang secara personal, terpaksa diselesaikan lewat  jalur hukum.

Demonstrasi, penolakan karya, blacklist terselubung pada nama-nama penyair atau para kritikus yang tertarik menulis puisi esai, serta persekusi verbal bernada merendahkan; terjadi terus-menerus sepanjang dua tahun awal.

Walhasil, puisi esai pada awal keberangkatannya berhasil dengan gilang-gemilang, memantik dinamika sastra Indonesia menjadi begitu hidup dan hingar-bingar.

Maka jawaban pada pertanyaan di atas, kenapa puisi esai tidak mati, bahkan terus berkembang setelah waktu berlalu selama 12 tahun semenjak ia diperkenalkan? Salah satu jawaban lain, selain kemudahan dalam pemahaman/keterbacaan, adalah pada keteguhan pandangan visioner penggagasnya (Denny JA) yang terbukti mampu melihat jauh ke depan. Bahwa di masa depan kekuatan data dan kecepatan informasi akan menjadi kunci dalam mentukan sebuah peradaban (termasuk di dalamnya karya sastra).

Sastra tidak hanya melulu bergelut dengan data yang dilebur utuh dalam imajinasi, tapi di masa depan data-data itu akan dituntut untuk turut berbicara secara transparan; karena pembicaraan tanpa kekuatan data yang nyata akan dianggap tidak relevan. Keyakinan dan kepercayaan pada faktor perubahan besar semacam inilah yang menyebabkan Sang Penggagasnya, Denny JA, terus berupaya mendorong puisi esai berkembang secara masif, tidak hanya di Indonesia, tapi menyebar hingga kawasan Asia Tenggara (Brunei, Singapura, dan Malaysia). Puisi esai diyakini penggagasnya adalah puisi masa depan.

Generasi digital nyatanya tumbuh dengan pola-pola yang sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya. Termasuk, bagaimana mereka memperlakukan karya sastra. 

Jika para penulis/penyair generasi klasik membutuhkan media cetak dalam bentuk fisik, baik untuk kebutuhan membaca (referensi/buku-buku/perpustakaan) maupun untuk kebutuhan menulis dan publikasi media (media massa/koran/majalah/penerbitan); maka generasi digital tidak memerlukan semua itu. Seluruh referensi, semua buku, bahkan media yang akan menerbitkan hasil karya mereka; semuanya telah tersedia dalam genggaman tangan. Ponsel pintar yang dilengkapi Artificial Intelegent (AI), menyediakan seluruh kebutuhan para penulis dalam hitungan detik. 

Ia bisa membaca, menulis, memublikasikan, sekaligus merespon reaksi pembaca; dalam satu hitungan waktu. Ditambah kemudahan dalam menjaring data, menjadikan data sebagai bagian penting dalam melahirkan sebuah argumen.

Kemampuan mesin pencari dan Artificial Intelegent yang mampu merangkum sekaligus menyediakan bahan yang dibutuhkan (bahkan bisa membantu merumuskan ide, dan sekaligus menuliskan penjabarannya) adalah sebuah revolusi berpikir dan bertindak yang tidak pernah terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Generasi klasik memerlukan waktu berhari-hari, bahkan berbulan bulan hanya untuk mengumpulkan referensi, kemudian menuliskannya, dan harus kembali menunggu proses penerbitan (dengan melewati sekian proses kurasi para editor/redaktur), sebelum sampai ke tangan pembaca. Era digital memangkas seluruh perlambatan itu menjadi lompatan kuantum yang menakjubkan: tak ada lagi jarak fisik antara penulis dan pembaca, mereka dipersatukan dalam satu layar bersama. Ketika seorang penulis menerbitkan karyanya, saat itu juga pembaca bisa langsung merespon dan menilai. Maka dalam hal tertentu, para penulis yang tumbuh di era digital tidak lagi memerlukan kurasi para editor, sebab bagi mereka, hakim tertinggi yang menentukan mutu dari sebuah tulisan adalah respon pembaca. Dan ini ditunjukkan dengan seberapa banyak mereka bisa menjaring followers dari berbagai platform media yang mereka gunakan untuk memublikasikan karyanya.

Semakin banyak jumlah like dan followers pada akun-akun pribadi mereka, serta semakin banyak reaksi pada karya yang mereka publikasikan, maka semakin tinggi nilai karya yang mereka hasilkan.
Seluruh sistem yang melatari kelahiran generasi digital, secara otomatis merombak cara kerja serta pola pikir yang mereka gunakan dalam keseharian, --termasuk dalam hal menilai karya seni/sastra. Mereka adalah generasi yang rasional, efektif, efisien, berpikir cepat, dan mampu mengerjakan banyak hal dalam kesatuan waktu (multitasking).

Mereka bisa membaca buku sekaligus menulis puisi di tengah keriuhan, sambil kongkow cekakakan di kafe-kafe, disambi membuka video, menelusuri data, menonton berita, mendengarkan musik, chatting dengan teman, komentar di media sosial, membuat status. Sesuatu yang tak mudah dilakukan oleh generasi sebelumnya.

Maka tak heran jika pola-pola yang ringkas, cepat, mudah dibaca, cerdas dan transparan; adalah pola yang lebih disukai, ---dibandingkan dengan sesuatu yang lambat, rumit dan penuh pertimbangan.  Mereka juga sangat sensitif pada keterbukaan data, dengan mempertanyakan segala hal yang pada masa lalu nyaris tak lagi menjadi masalah.
Puisi Esai adalah formula paling menantang bagi generasi ini. Ia merangkum kemungkinan aktivitas seni sebagai kebutuhan akan ruang imajinasi, yang bisa sekaligus bersatu bersama penalaran rasional atas fakta dan data (fakta dan data yang secara langsung bisa terbaca). Suka atau tidak suka, generasi digital adalah generasi yang lebih condong pada rasionalitas dan keterbukaan (rasionalitas yang terang benderang). Mereka adalah generasi yang selalu mempertanyakan banyak hal, dan selalu mencari hubungan rasionalitasnya melalui data. Tak ada satu hal pun yang pantas disembunyikan dari generasi ini. Maka dongeng-dongeng, mitos, legenda, bahkan agama; dipertanyakan kembali dengan segala relevansinya. Imajinasi harus bisa dinalar dengan konsep yang membangunnya, dan segala tafsir atas dunia imajinasi bisa dihubungkan dengan fakta yang tengah terjadi, --bukan ramalan apalagi sejumlah kemungkinan. Filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya, pada dasarnya (sejak ia dilahirkan) adalah imajinasi yang dikembangkan berdasarkan data.

Dari data berkembang asumsi, dari asumsi menuju reposisi, kemudian penilaian, pengujian, dan kesimpulan. Pada generasi digital, aplikasi dari teori-teori ini kembali diuji berdasarkan hubungannya dengan fakta yang terjadi saat sekarang. Dan inilah pola yang akan menjadi daya tarik utama dalam karya sastra, ---dalam hal konsep Denny JA, dirumuskan menjadi puisi esai. 
***
Dua belas tahun perjalanan puisi esai, bukanlah waktu yang pendek untuk tetap dianggap eksperimen. Genre puisi esai telah menghasilkan ribuan karya dari berbagai kalangan, baik penyair ataupun bukan penyair, dan ratusan buku telah terbit. Tidak terhitung banyaknya karya yang dipublikasikan pada media-media personal seperti blog, group-group WhatsApp, dan media-media sosial seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan lain sebagainya.

Kreativitas puisi esai juga telah merambah pada beragam media yang berbasiskan audio-visual, dimana puisi esai menjadi bahan yang gampang diaplikasikan menjadi film pendek serta potongan-potongan video yang menggabungkan unsur gerak/tari, seni rupa, musik, dan teater.

Puisi esai semakin diterima kehadirannya di dalam khazanah sastra Indonesia. Tidak saja dikenal di kalangan penyair, tapi juga pelajar, mahasiswa, intelektual, para profesional di bidangnya masing-masing, serta guru-guru di sekolah yang mengajarkan apresiasi sastra untuk para siswanya. Lantaran berbasis riset dan data, maka para guru dengan mudah mengaplikasikan materi puisi esai dihubungkan dengan mata pelajaran lain di sekolah. Tema-tema psikologi, sosial, politik, agama, ekonomi, bahkan sains; menjadi bahan menarik untuk dikaji. Meluaskan imajinasi sekaligus memberi bobot pada isi, adalah kelebihan lain yang dimiliki puisi esai.

Menilik dari perkembangan puisi esai yang semakin diterima di kalangan masyarakat pembaca sekaligus di kalangan para penulis, serta telah memberi manfaat luas pada perkembangan kebudayaan yang dalam 10 tahun terakhir telah mengalami lompatan kuantum teknologi yang menakjubkan; maka sudah saatnya memberi satu penanda besar bagi kehadiran puisi esai dalam khazanah sastra Indonesia, yakni sebuah deklarasi bahwa telah lahir angkatan baru dalam sastra Indonesia, yakni: Angkatan Puisi Esai. 

Lahirnya sebuah angkatan dalam sastra Indonesia adalah sebuah proses panjang yang tidak instan. Setidaknya ada tiga syarat utama untuk lahirnya sebuah angkatan: pertama ia memiliki konsep jelas dan tegas yang mampu membawa satu perubahan besar, kedua ia telah diterima dan diproduksi secara massal oleh para penulis, yang dibuktikan dengan terbitnya karya-karya berbasis konsep yang digariskan, dan ketiga memiliki jumlah pembaca yang menerima karya-karya dengan konsep yang tertanam di dalamnya. Ketiga syarat utama itu telah terpenuhi oleh genre puisi esai.

Sejak dideklarasikan Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia, yang merangkum sejumlah penulis generasi baby boomers yang rata-rata berkarya pada rezim pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan tak ada lagi gejolak dan terobosan baru dalam sastra Indonesia. Selama 24 tahun sastra Indonesia seperti menjauh dari hiruk-pikuk, seakan-akan ia menepi meskipun karya-karya terus diproduksi. Para penulis baru terus lahir, para pembaca berganti generasi. Tapi tak ada aktor/pelopor yang berani tampil di depan untuk merumuskan/memikirkan sebuah perubahan yang mengguncang.

Dengan lahirnya genre puisi esai yang jelas menggariskan satu pembeda dari genre-genre sebelumnya, dan sangat kompatibel dengan generasi  digital yang selalu berpikir berdasarkan fakta dan data, maka sejarah sastra Indonesia kembali bangkit untuk menengok dirinya sendiri.

Seperti halnya kemunculan Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia yang memancing polemik panjang, terutama dari sudut konsep yang tidak tegas dalam menentukan batas perbedaan dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Ada banyak kalangan yang menganggap bahwa Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia hanyalah himpunan para penulis yang dikumpulkan dalam sebuah buku.

Tak ada spesifikasi khas, selain bahwa mereka lahir dan besar di zaman pemerintahan Orde Baru. Tapi begitulah lazimnya terjadi ketika sebuah angkatan baru didesain untuk dimunculkan: selalu terjadi pro dan kontra yang menyertainya. Tapi apakah ketakutan terhadap sebuah polemik, harus meniadakan ide-ide pembaruan? Tentu saja tidak.

Seperti halnya juga pada deklarasi atas pemunculan Angkatan Puisi Esai kali ini, satu polemik besar pasti akan terjadi. Dan itu hal yang lazim, karena bagaimanapun tak ada satu hal di dunia ini yang mampu menyeragamkan satu pendapat. Tuduhan paling keras yang sudah pasti bisa diduga, yang akan dengan tegas menolak lahirnya Angkatan Puisi Esai adalah: bahwa gerakan ini dimunculkan oleh sebuah kekuatan dengan desain terencana/ by design.

Pertanyaannya, adakah sebuah angkatan lahir tanpa desain? Bisa dipastikan semua angkatan sastra Indonsia dilahirkan by design. Ia lahir dan dirumuskan oleh seorang pelopor. Direncanakan dengan matang, dirumuskan dengan tegas, lalu diwujudkan. Tanpa desain yang matang dan terencana, tak akan lahir sebuah angkatan.

Di alam demokrasi, sebuah pandangan baru layak untuk dihargai. Seperti pelangi, semakin banyak komposisi warna akan semakin menambah keragaman dan keindahan. Puisi Esai adalah satu bentuk warna yang muncul diantara warna-warna lain yang telah ada. Dan setiap warna berhak untuk ada.
***
Nukilan kisah Luqmanul Hakim dengan seekor keledai yang merupakan pembuka dari tulisan ini, adalah parodi yang menggambarkan betapa sulit menyatukan pandangan setiap orang pada sebuah nilai kebenaran. Masing-masing orang memiliki sudut pandangnya sendiri, yang mereka anggap paling benar.

Demikian pula halnya dengan lahirnya Angkatan Puisi Esai, akan ada banyak sudut pandang berbeda yang masing-masing mengklaim menjadi sebuah kebenaran. Hanya waktu yang kelak akan membuktikan, apakah Angkatan Puisi Esai akan sirna, ataukah justru akan terus bersinar menerangi jalannya sejarah sastra Indonesia.

Yogyakarta, 10 Desember 2024.***

Halaman:

Berita Terkait