Kisah Luqmanul Hakim dan Seekor Keledai, dan Lahirnya Angkatan Puisi Esai
- Minggu, 15 Desember 2024 15:22 WIB
Maka tak heran jika pola-pola yang ringkas, cepat, mudah dibaca, cerdas dan transparan; adalah pola yang lebih disukai, ---dibandingkan dengan sesuatu yang lambat, rumit dan penuh pertimbangan. Mereka juga sangat sensitif pada keterbukaan data, dengan mempertanyakan segala hal yang pada masa lalu nyaris tak lagi menjadi masalah.
Puisi Esai adalah formula paling menantang bagi generasi ini. Ia merangkum kemungkinan aktivitas seni sebagai kebutuhan akan ruang imajinasi, yang bisa sekaligus bersatu bersama penalaran rasional atas fakta dan data (fakta dan data yang secara langsung bisa terbaca). Suka atau tidak suka, generasi digital adalah generasi yang lebih condong pada rasionalitas dan keterbukaan (rasionalitas yang terang benderang). Mereka adalah generasi yang selalu mempertanyakan banyak hal, dan selalu mencari hubungan rasionalitasnya melalui data. Tak ada satu hal pun yang pantas disembunyikan dari generasi ini. Maka dongeng-dongeng, mitos, legenda, bahkan agama; dipertanyakan kembali dengan segala relevansinya. Imajinasi harus bisa dinalar dengan konsep yang membangunnya, dan segala tafsir atas dunia imajinasi bisa dihubungkan dengan fakta yang tengah terjadi, --bukan ramalan apalagi sejumlah kemungkinan. Filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya, pada dasarnya (sejak ia dilahirkan) adalah imajinasi yang dikembangkan berdasarkan data.
Dari data berkembang asumsi, dari asumsi menuju reposisi, kemudian penilaian, pengujian, dan kesimpulan. Pada generasi digital, aplikasi dari teori-teori ini kembali diuji berdasarkan hubungannya dengan fakta yang terjadi saat sekarang. Dan inilah pola yang akan menjadi daya tarik utama dalam karya sastra, ---dalam hal konsep Denny JA, dirumuskan menjadi puisi esai.
***
Dua belas tahun perjalanan puisi esai, bukanlah waktu yang pendek untuk tetap dianggap eksperimen. Genre puisi esai telah menghasilkan ribuan karya dari berbagai kalangan, baik penyair ataupun bukan penyair, dan ratusan buku telah terbit. Tidak terhitung banyaknya karya yang dipublikasikan pada media-media personal seperti blog, group-group WhatsApp, dan media-media sosial seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan lain sebagainya.
Kreativitas puisi esai juga telah merambah pada beragam media yang berbasiskan audio-visual, dimana puisi esai menjadi bahan yang gampang diaplikasikan menjadi film pendek serta potongan-potongan video yang menggabungkan unsur gerak/tari, seni rupa, musik, dan teater.
Puisi esai semakin diterima kehadirannya di dalam khazanah sastra Indonesia. Tidak saja dikenal di kalangan penyair, tapi juga pelajar, mahasiswa, intelektual, para profesional di bidangnya masing-masing, serta guru-guru di sekolah yang mengajarkan apresiasi sastra untuk para siswanya. Lantaran berbasis riset dan data, maka para guru dengan mudah mengaplikasikan materi puisi esai dihubungkan dengan mata pelajaran lain di sekolah. Tema-tema psikologi, sosial, politik, agama, ekonomi, bahkan sains; menjadi bahan menarik untuk dikaji. Meluaskan imajinasi sekaligus memberi bobot pada isi, adalah kelebihan lain yang dimiliki puisi esai.
Menilik dari perkembangan puisi esai yang semakin diterima di kalangan masyarakat pembaca sekaligus di kalangan para penulis, serta telah memberi manfaat luas pada perkembangan kebudayaan yang dalam 10 tahun terakhir telah mengalami lompatan kuantum teknologi yang menakjubkan; maka sudah saatnya memberi satu penanda besar bagi kehadiran puisi esai dalam khazanah sastra Indonesia, yakni sebuah deklarasi bahwa telah lahir angkatan baru dalam sastra Indonesia, yakni: Angkatan Puisi Esai.
Lahirnya sebuah angkatan dalam sastra Indonesia adalah sebuah proses panjang yang tidak instan. Setidaknya ada tiga syarat utama untuk lahirnya sebuah angkatan: pertama ia memiliki konsep jelas dan tegas yang mampu membawa satu perubahan besar, kedua ia telah diterima dan diproduksi secara massal oleh para penulis, yang dibuktikan dengan terbitnya karya-karya berbasis konsep yang digariskan, dan ketiga memiliki jumlah pembaca yang menerima karya-karya dengan konsep yang tertanam di dalamnya. Ketiga syarat utama itu telah terpenuhi oleh genre puisi esai.
Sejak dideklarasikan Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia, yang merangkum sejumlah penulis generasi baby boomers yang rata-rata berkarya pada rezim pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan tak ada lagi gejolak dan terobosan baru dalam sastra Indonesia. Selama 24 tahun sastra Indonesia seperti menjauh dari hiruk-pikuk, seakan-akan ia menepi meskipun karya-karya terus diproduksi. Para penulis baru terus lahir, para pembaca berganti generasi. Tapi tak ada aktor/pelopor yang berani tampil di depan untuk merumuskan/memikirkan sebuah perubahan yang mengguncang.
Dengan lahirnya genre puisi esai yang jelas menggariskan satu pembeda dari genre-genre sebelumnya, dan sangat kompatibel dengan generasi digital yang selalu berpikir berdasarkan fakta dan data, maka sejarah sastra Indonesia kembali bangkit untuk menengok dirinya sendiri.
Seperti halnya kemunculan Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia yang memancing polemik panjang, terutama dari sudut konsep yang tidak tegas dalam menentukan batas perbedaan dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Ada banyak kalangan yang menganggap bahwa Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia hanyalah himpunan para penulis yang dikumpulkan dalam sebuah buku.
Tak ada spesifikasi khas, selain bahwa mereka lahir dan besar di zaman pemerintahan Orde Baru. Tapi begitulah lazimnya terjadi ketika sebuah angkatan baru didesain untuk dimunculkan: selalu terjadi pro dan kontra yang menyertainya. Tapi apakah ketakutan terhadap sebuah polemik, harus meniadakan ide-ide pembaruan? Tentu saja tidak.