Kisah Luqmanul Hakim dan Seekor Keledai, dan Lahirnya Angkatan Puisi Esai
- Minggu, 15 Desember 2024 15:22 WIB
Kelebihan puisi esai yang mensyaratkan kemudahan dalam keterbacaan (dengan memasukkan lebih banyak unsur prosa seperti kekuatan cerita, alur, dan karakter tokoh, dengan tidak mengabaikan kedalaman metafora dan keindahan bahasa seperti lazimnya sebuah puisi), serta sekaligus menawarkan petualangan intelektual yang menjadi landasan kenapa ia menulis tema atau masalah tertentu dalam puisi tersebut disertai pertanggungjawaban atas data penelitian berupa sumber/referensi berupa catatan kaki; telah menarik minat berbagai kalangan untuk mencoba.
Tidak saja di kalangan para penyair, akan tetapi lebih banyak di kalangan nonpenyair yang selama ini menganggap bahwa puisi adalah sesuatu yang rumit. Puisi hanya bisa dipahami oleh para pembaca yang secara khusus menaruh minat terhadap sastra. Bahkan yang paling menyedihkan adalah anggapan umum bahwa puisi hanya bisa dipahami oleh para penyair.
Puisi esai membuka jendela yang menawarkan sesuatu pada khalayak umum (khalayak yang bukan penyair), bahwa menulis puisi itu tidak sesulit yang dibayangkan. Bahwa puisi adalah cara lain untuk menulis berbagai hal secara menyenangkan, sekaligus menawarkan satu kelas bobot intelektual tertentu seperti halnya yang dimiliki kaum intelektual/akademisi.
Jargon pada puisi esai yang menegaskan bahwa “yang bukan penyair, boleh ambil bagian,” menyiratkan satu penegasan bahwa puisi esai tidak saja mudah ditulis, tapi juga bisa dengan mudah dibaca/dipahami oleh setiap orang. Dengan cara ini, puisi esai membuka ruang lebar untuk menjaring pembaca baru sekaligus penulis baru pada khalayak yang lebih luas: pelajar, mahasiswa, kaum akademis, para profesional di berbagai bidang, pejabat negara, politisi, bahkan ibu rumah tangga. Karya sastra (terutama puisi) yang selama ini selalu bermukim di menara gading, lewat puisi esai dicoba diturunkan tingkat keterbacaannya untuk bisa menjadi bacaan mudah dan menyenangkan bagi semua orang. Tentu, dengan tidak mengobankan mutu, baik dari segi estetika maupun bobot/isi yang merupakan tuntutan mutlak dari karya sastra.
Apa sesungguhnya penyebab anggapan umum bahwa puisi adalah jenis bacaan khusus kalangan tertentu, dan karena itu sulit dipahami? Hal ini menyangkut kesejarahan panjang, dimulai dari pengenalan genre puisi di sekolah-sekolah (bahkan hingga di perguruan tinggi yang membuka jurusan sastra), yang selalu memperlakukan puisi tidak berbasiskan apresiasi, melainkan lebih condong pada teori.
Puisi-puisi tidak dibaca untuk dinikmati. Tapi puisi-puisi ini, di tangan para guru diperlakukan semacam pasien gawat darurat: ia dibedah dengan penuh ketegangan/keseriusan, dipilah-pilah berdasarkan ketegori, kemudian dianalisis sesuai teori. Teori tentang diksi, majas, metafora, metrum, rima, irama, nada/suasana, pemenggalan kata, unsur ekstrinsik, unsur intrinsik, dan lain sebagainya; yang semuanya harus dipahami baris per baris, kata per kata, membuat pendakian puisi sedemikian terjal dan rumit. Para siswa tidak diberi kesempatan untuk menikmati kesenangan, tapi sejak mula ditanamkan dalam benak mereka, bahwa puisi itu serupa permainan labirin gelap yang penuh misteri.
Berawal dari sinilah sesungguhnya, kesan “berat” pada puisi yang membuat banyak orang menjauhinya, dengan anggapan bahwa puisi adalah bacaan khusus untuk kalangan tertentu saja. Nah, puisi esai berusaha membebaskan sitgma semacam ini.
Puisi esai, lantaran karakteristiknya yang lebih banyak memasukkan unsur prosa dalam bentuk narasi, serta argumen dari hasil riset atas fakta dan data yang diterakan dalam catatan kaki, maka secara fisik puisi esai selalu ditulis dalam format yang panjang. Ini juga yang memberi peluang petualangan pada pembaca, bahwa membaca puisi hampir sama keasyikannya dengan membaca novel. Meskipun dalam pengembangan selanjutnya, beberapa penyair berhasil membuat puisi esai dalam format yang lebih pendek.
***
Kenapa puisi esai tidak mati, seperti harapan para penentangnya? Sebelum menjawab pertanyaan itu, kiranya perlu disegarkan kembali ke dalam memori kolektif, bahwa dalam sejarah sastra di Indonesia, belum pernah ada polemik yang memakan waktu teramat panjang dan berlarut-larut seperti polemik mengenai puisi esai.
Pro dan kontra puisi esai berawal dari semenjak diluncurkannya konsep puisi esai oleh penggagasnya Denny JA (2012), yang terus bergulir dari tahun ke tahun, bahkan sisa-sisa residunya masih terasa hingga sekarang (2024). Dua tahun awal (2012-2014) adalah pertentangan paling keras, berbagai serangan pada konsep, hingga merembet pada persekusi verbal secara personal.
Bahkan salah satu persekusi verbal yang menyerang secara personal, terpaksa diselesaikan lewat jalur hukum.