Kisah Luqmanul Hakim dan Seekor Keledai, dan Lahirnya Angkatan Puisi Esai
- Minggu, 15 Desember 2024 15:22 WIB
Demonstrasi, penolakan karya, blacklist terselubung pada nama-nama penyair atau para kritikus yang tertarik menulis puisi esai, serta persekusi verbal bernada merendahkan; terjadi terus-menerus sepanjang dua tahun awal.
Walhasil, puisi esai pada awal keberangkatannya berhasil dengan gilang-gemilang, memantik dinamika sastra Indonesia menjadi begitu hidup dan hingar-bingar.
Maka jawaban pada pertanyaan di atas, kenapa puisi esai tidak mati, bahkan terus berkembang setelah waktu berlalu selama 12 tahun semenjak ia diperkenalkan? Salah satu jawaban lain, selain kemudahan dalam pemahaman/keterbacaan, adalah pada keteguhan pandangan visioner penggagasnya (Denny JA) yang terbukti mampu melihat jauh ke depan. Bahwa di masa depan kekuatan data dan kecepatan informasi akan menjadi kunci dalam mentukan sebuah peradaban (termasuk di dalamnya karya sastra).
Sastra tidak hanya melulu bergelut dengan data yang dilebur utuh dalam imajinasi, tapi di masa depan data-data itu akan dituntut untuk turut berbicara secara transparan; karena pembicaraan tanpa kekuatan data yang nyata akan dianggap tidak relevan. Keyakinan dan kepercayaan pada faktor perubahan besar semacam inilah yang menyebabkan Sang Penggagasnya, Denny JA, terus berupaya mendorong puisi esai berkembang secara masif, tidak hanya di Indonesia, tapi menyebar hingga kawasan Asia Tenggara (Brunei, Singapura, dan Malaysia). Puisi esai diyakini penggagasnya adalah puisi masa depan.
Generasi digital nyatanya tumbuh dengan pola-pola yang sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya. Termasuk, bagaimana mereka memperlakukan karya sastra.
Jika para penulis/penyair generasi klasik membutuhkan media cetak dalam bentuk fisik, baik untuk kebutuhan membaca (referensi/buku-buku/perpustakaan) maupun untuk kebutuhan menulis dan publikasi media (media massa/koran/majalah/penerbitan); maka generasi digital tidak memerlukan semua itu. Seluruh referensi, semua buku, bahkan media yang akan menerbitkan hasil karya mereka; semuanya telah tersedia dalam genggaman tangan. Ponsel pintar yang dilengkapi Artificial Intelegent (AI), menyediakan seluruh kebutuhan para penulis dalam hitungan detik.
Ia bisa membaca, menulis, memublikasikan, sekaligus merespon reaksi pembaca; dalam satu hitungan waktu. Ditambah kemudahan dalam menjaring data, menjadikan data sebagai bagian penting dalam melahirkan sebuah argumen.
Kemampuan mesin pencari dan Artificial Intelegent yang mampu merangkum sekaligus menyediakan bahan yang dibutuhkan (bahkan bisa membantu merumuskan ide, dan sekaligus menuliskan penjabarannya) adalah sebuah revolusi berpikir dan bertindak yang tidak pernah terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Generasi klasik memerlukan waktu berhari-hari, bahkan berbulan bulan hanya untuk mengumpulkan referensi, kemudian menuliskannya, dan harus kembali menunggu proses penerbitan (dengan melewati sekian proses kurasi para editor/redaktur), sebelum sampai ke tangan pembaca. Era digital memangkas seluruh perlambatan itu menjadi lompatan kuantum yang menakjubkan: tak ada lagi jarak fisik antara penulis dan pembaca, mereka dipersatukan dalam satu layar bersama. Ketika seorang penulis menerbitkan karyanya, saat itu juga pembaca bisa langsung merespon dan menilai. Maka dalam hal tertentu, para penulis yang tumbuh di era digital tidak lagi memerlukan kurasi para editor, sebab bagi mereka, hakim tertinggi yang menentukan mutu dari sebuah tulisan adalah respon pembaca. Dan ini ditunjukkan dengan seberapa banyak mereka bisa menjaring followers dari berbagai platform media yang mereka gunakan untuk memublikasikan karyanya.
Semakin banyak jumlah like dan followers pada akun-akun pribadi mereka, serta semakin banyak reaksi pada karya yang mereka publikasikan, maka semakin tinggi nilai karya yang mereka hasilkan.
Seluruh sistem yang melatari kelahiran generasi digital, secara otomatis merombak cara kerja serta pola pikir yang mereka gunakan dalam keseharian, --termasuk dalam hal menilai karya seni/sastra. Mereka adalah generasi yang rasional, efektif, efisien, berpikir cepat, dan mampu mengerjakan banyak hal dalam kesatuan waktu (multitasking).
Mereka bisa membaca buku sekaligus menulis puisi di tengah keriuhan, sambil kongkow cekakakan di kafe-kafe, disambi membuka video, menelusuri data, menonton berita, mendengarkan musik, chatting dengan teman, komentar di media sosial, membuat status. Sesuatu yang tak mudah dilakukan oleh generasi sebelumnya.