Puisi Esai Denny JA: Kabarkan Kisah Bunga yang Dipanah
- Penulis : Bramantyo
- Jumat, 22 November 2024 07:33 WIB

Di rumah kayu di Amsterdam,
Multatuli menggenggam pena.
Ia mendengar suara-suara
yang tak pernah sampai ke istana.
Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.
Ia menulis Max Havelaar,
novel tentang petani dan penindasan.
Suara itu menggema hingga istana.
Baca Juga: Membuka Pintu Puisi Esai bagi Generasi Milenial
Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.
Elit Belanda membacanya dengan dada terbakar.
“Apakah ini yang kita banggakan?”
Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.
Baca Juga: Denny JA Terbitkan Buku Puisi Esai ke-6 tentang Sisi Gelap Sejarah Kemerdekaan
Politik etis lahir dari pena itu.
Sekolah-sekolah berdiri,
para pribumi belajar huruf dan kata.
Dari huruf itu mereka merangkai suara,
dari suara itu mereka mencipta obor,
dari obor itu mereka menerangi jalan,
menuju kemerdekaan.
Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.
Seperti gunung menyembunyikan kawah,
seperti sungai menyembunyikan deras,
tulisan membuka yang terkubur.
Kisah yang tersimpan ratusan tahun,
akhirnya memecah batu-batu kesunyian.
Di ruangan ini, kita berkumpul.
Dari Aceh hingga Papua,
dari Asia Tenggara hingga Kairo.