Catatan Denny JA: Untuk Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Minggu, 06 Oktober 2024 18:13 WIB
Langkah ini merupakan pengakuan yang sangat penting. Tetapi bagi mereka yang telah lama terasing, pertanyaan besar yang muncul adalah: Apakah pengakuan ini datang terlambat?
Eksil yang masih hidup kini berusia di atas 80 tahun. Mereka telah menghabiskan hidup dalam kerinduan yang tak tertahankan akan tanah air yang tidak bisa mereka kunjungi.
Sementara di sisi lain, mereka menghadapi ketidakpastian hidup di negeri asing. Mereka tidak pernah memiliki “sarang” yang pasti.
Baca Juga: ORASI DENNY JA: Kisah Cinta Tanah Air di Dalam Film Eksil
Negeri yang mereka tempati tidak pernah benar-benar menyambut mereka sebagai bagian dari dirinya.
Saya tersentuh merekam suasana batin para eksil itu bukan untuk makalah akademik. Tapi itu untuk diekspresikan ke dalam sastra, melalui puisi esai. Kisah mereka layak menjadi renungan.
-000-
Baca Juga: Puisi Denny JA: Pesan yang Dibawa Seekor Burung yang Hinggap di Pundakku
Tiga puluh enam tahun telah berlalu sejak jatuhnya Orde Baru pada 1998. Selama itu, reformasi politik telah mengubah wajah Indonesia.
Namun, dalam hal rekonsiliasi dengan eksil 1960-an, tampaknya waktu tidak menyembuhkan semua luka. Mereka yang terusir dari tanah air oleh rezim Orde Baru—rezim yang mencabut kewarganegaraan mereka—belum sepenuhnya mendapat pengakuan atau hak-hak mereka dikembalikan.
Sejarah pengasingan eksil ini dimulai dari kejadian besar di tahun 1965, ketika pemerintahan Orde Baru menuding ribuan orang Indonesia yang berada di luar negeri, khususnya di negara-negara blok Timur, sebagai pengkhianat.
Baca Juga: Puisi dari Susilawati Tentang Duhai Hati
Tuduhan yang dihubungkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) langsung mencabut hak-hak dasar mereka sebagai warga negara.