DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Di Pembuangan Itu, Mereka Menua dan Mati: Inspirasi dari Film Eksil (2024)

image
(OrbitIndonesia/kiriman Denny JA)

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Setelah lebih dari lima puluh tahun terbuang dari Indonesia, ia menua dan mati. Sering dikatakannya, ia rindu kampung halamannya, Indonesia.

Di film itu, ketika peti jenazahnya diangkat, di satu gereja di Belanda, terdengar lagu  Indonesia Pusaka. yang dinyanyikan beberapa remaja dengan iringan gitar:

Baca Juga: Denny JA: Situasi akan Baik-baik Saja di Tengah Isu Pemilu Curang, Hak Angket, dan Koalisi Baru

“Indonesia tanah air beta.

Pusaka abadi nan jaya.

Indonesia sejak dulu kala.

Tetap dipuja-puja bangsa.

Di sana tempat lahir beta.

Dibuai, dibesarkan Bunda.

Tempat berlindung di hari tua.

Sampai akhir menutup mata."

Ironi situasinya dengan lirik lagu. Karena persoalan politik di tahun enam- puluhan, membuatnya tak menutup mata di negara asalnya: Indonesia.

Air mata saya pun menetes. Ikut merasakan suasana puluhan terbuang dari tanah air tercinta Indonesia, hanya karena persoalan politik di masa lalu.

-000-

Ini film dokumenter karya Lola Amaria. Sejak tahun 2010, empat belas tahun lalu, ia sudah melakukan riset. Tekun ia mewawancarai dan membuat dokumentasi sekitar 10 warga Indonesia yang terbuang ke negara lain, sejak tahun 1960-an.

Itu era heboh PKI. Film ini berfokus pada sekelompok mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri saat peristiwa G30S terjadi.

Di tengah kekacauan politik di tanah air, mereka dicap sebagai simpatisan PKI dan diputus dengan administrasi pemerintahan Indonesia. Film ini mengikuti perjalanan mereka di pengasingan.

Mereka  dipaksa beradaptasi dengan kehidupan baru di negara asing, sambil terus berjuang untuk kembali ke tanah air. Kewarga- negaraan mereka tak jelas. Lalu mereka berwarna negara lain: Belanda, Swedia, Perancis, Rusia, dan lain sebagainya.

Ada kisah ketika salah seorang dari mereka jatuh cinta dan memadu kasih. Ternyata sang kekasih agen pengintai yang disusupkan untuk mencatat dunia para eksil.

Ada kisah seorang eksil yang rumahnya penuh buku dan foto kopi. Ia kumpulan aneka berita dan dokumen seputar kasus politik 60-an. Suatu hari ia meyakini dokumen yang difoto-kopinya akan berbicara.

-000-

Film ini menghadirkan beberapa tokoh sentral, di antaranya: Asahan Alham Aidit, Hartoni Ubes, Sarjio Mintardjo, dan I Gede Arka.

Pembuat film perlu diapresiasi karena ia berani dan berhasil merekam satu babak sejarah kelam Indonesia. Ekspresi ceritanya menyentuh karena personalisasi peristiwa itu dari pengalaman pribadi para warga yang terbuang.

Sejak awal, saya sudah tersentuh dengan puisi yang dibuat oleh Chalik Hamid, seorang eksil yang juga terbuang dari Indonesia.

"Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, di berbagai benua."

-000-

Yang dihadirkan di film Eksil itu hanya puncak gunung es dari dunia yang jauh lebih besar, yang belum semua tergali.

Memang  tak tersedia jumlah yang pasti seberapa banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri waktu itu. Seberapa banyak sebenarnya jumlah warga Indonesia yang tidak bisa kembali. (1)

Tapi di  awal 1960-an, ribuan orang dikirim ke luar negeri oleh  Bung Karno untuk sekolah.  Ribuan! Mereka mahasiswa terpilih, sebagai “utusan Indonesia”.

Akibat pergolakan politik di tanah air, dan dicabutnya paspor, mereka “mengembara” dari satu negara ke negara lain. Mereka juga ketakutan karena isu akan dipulangkan ke Indonesia dan dipenjara.

Mereka memang bebas di negara lain, tapi tetap serasa berada dalam penjara karena ketidak pastian. Ketika paspor mereka dicabut, kewarga- negaraan Indonesia mereka dilepas, itu siksaan eksistensial tersediri. Mereka dipisahkan dengan identitas negara tempat mereka dilahirkan.

Itulah yang ada. Cinta tanah air tak hilang, walau terbuang jauh di negeri seberang, puluhan tahun. Walau saat itu mereka berbeda keyakinan politik dengan pemerintah yang sedang berkuasa, cinta tanah air tak sirna. ***

Jakarta, Senin 26 Feb 2024

Berita Terkait