DECEMBER 9, 2022
Kolom

Dia adalah Franklin, Calon Kepala Sekolah Rakyat dari Biak Numfor, Papua

image
Samuel Franklin, calon kepala Sekolah Rakyat tahap pertama untuk Kabupaten Biak Numfor, Papua. ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo.

ORBITINDONESIA.COM - Franklin masih terlalu sibuk menyendiri di sudut aula retret Kementerian Sosial, Jakarta,  dengan pakaian dinas lapangan hijau gelap membalut tubuhnya, dan sepatu boot hitam yang sedikit berdebu usai sesi latihan baris-berbaris.

Dalam suasana riuh dengan dentingan gelas-gelas kopi, dan bisik-bisik rekan sesama calon kepala sekolah, Franklin, pria berusia 45 tahun itu menenangkan napas yang masih diburu campuran rasa gugup dan lelah setelah lima hari menjalani pembekalan kepribadian-manajerial ala prajurit angkatan darat.

Dari ribuan kilometer jauhnya kepulauan di Papua, Franklin datang bukan hanya membawa berkas seleksi, tetapi membawa satu niat yang terpendam bertahun-tahun. Dia ingin berkontribusi dalam sebuah upaya agar kemiskinan tak lagi menjadi alasan anak-anak daerah tidak bisa mengenyam pendidikan bermartabat hingga meraih impiannya, dan ini ada pada Sekolah Rakyat.

Baca Juga: Penyuluh dari Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Gencar Blusukan Menyuluh Hukum di Kalangan Pelajar Sekolah Dasar

Pria bernama lengkap, Samuel Franklin Yawan ini sejatinya sudah memiliki posisi mapan. Ia menjabat sebagai Kepala SMA Negeri Samber, sekolah yang ia bangun dan rawat sejak lama di kampung halamannya, Yendidori, Kabupaten Biak Numfor.

Namun kabar tentang Sekolah Rakyat, sekolah berasrama gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, mengetuk hatinya.

“Kalau mau aman, saya cukup bertahan di dengan jabatan di sekolah negeri Samber, tapi ini kan kesempatan untuk menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam membantu mereka masyarakat kami yang paling membutuhkan," kata Franklin dengan suara tegasnya.

Baca Juga: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat Larang Sekolah Swasta Naikkan Iuran

Keputusan itu tidak lahir dalam satu malam. Franklin tumbuh di tanah yang setiap pagi disapa angin laut, di antara perahu kayu dan nyanyian adat Wor. Ia berkali-kali menyaksikan anak-anak yang semangatnya tak kalah besar dari anak kota, harus berhenti sekolah.

Bukan karena malas atau tak mampu belajar, melainkan karena tak punya biaya membeli seragam, ongkos kapal, atau bahkan untuk makan siang. Kondisi ini yang selalu menancap di hatinya, hingga akhirnya ia memilih jalan baru bernama Sekolah Rakyat.

Jalan menjadi Kepala Sekolah Rakyat bukanlah jalan lurus. Franklin bercerita, proses seleksi yang dijalaninya lebih ketat daripada yang ia bayangkan. Setelah wawancara langsung dengan para pendamping dari Kementerian Sosial, ia masih harus melewati tes psikologi dan TOEFL. “Buat kami guru di daerah, tes seperti itu cukup berat,” akunya sambil tersenyum.

Baca Juga: Malala Yousafzai, Bertaruh Nyawa Demi Sekolah

Dari ratusan pelamar, ia akhirnya terpilih sebagai salah satu dari 100 kepala sekolah rakyat tahap pertama, bersama 47 calon kepala sekolah tambahan yang baru saja menyelesaikan retret tahap kedua di Gedung Pusdiklatbangprof Kementerian Sosial, Jakarta Selatan.

Halaman:

Berita Terkait