DECEMBER 9, 2022
Kolom

Luthfi Yazid di Teras Masjid

image
Luthfi Yazid (Foto: ANTARA)

Oleh Syaefudin Simon*

ORBITINDONESIA.COM - Namanya tertulis mentereng. Dua kali menjadi tim pengacara calon presiden di Mahkamah Konstitusi, Prabowo Subianto (2019) dan Ganjar Pranowo (2024).

Tapi persinggahannya kalau dalam perjalanan, dari masjid ke masjid. Itulah advokat senior Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LLM. Alumnus UGM Yogya dan Warwick University, London. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: Dari Kisah Burung Sampai Frugal Life

Selasa, 1 Oktober 2024, aku bertemu advokat Luthfi Yazid (LY) tersebut  di teras masjid Darul Hikmah Rawa Lumbu Bekasi. Ia tengah menunggu salah seorang kliennya di Bekasi. 

Semula saat LY memberi tahu  sedang berada di Bekasi dan minta aku menemaninya, aku menduga, ia sedang ngopi di cafe elit yang berada di teras mall mewah Sumarecon. Eh tahunya, setelah LY ngeshare lokasinya, tempatnya adalah masjid Darul Hikmah. Saat itu teras masjid pun ramai  dengan pengajian ibu-ibu majelis taklim kampung Rawalumbu,  Bekasi. 

Bro, kenapa menunggu kliennya di masjid, bukan di cafe atau teras hotel bintang lilma seperti kebiasaan advokat terkenal?  Aku bertanya. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: Salim Said dan Dua Raja Jawa

Ah tidaklah. Aku suka menunggu klien di teras masjid. Di sini bisa salat sunah dan bertemu masyarakat. Menunggu klien di masjid mengingatkan aku akan pentingnya membela kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan hanya bisa eksis ketika kita mengingat Allah dengan hati yang jujur dan tulus. 

Hati manusia, kata LY mengutip penyair Jalaludin Rumi, adalah rumah Tuhan. Masjid juga rumah Tuhan. Tempat kebenaran dan keadilan. Jelas pria kelahiran Jember yang suka membela wong cilik itu. 

Penjelasan eseis tentang hati manusia, masjid dan Rumah Tuhan tersebut sangat inspiratif. Maklum, ia rajin membaca buku-buku sastra dan filsafat Islam. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: Lukisan Denny JA dan Tragedi Terbesar Dunia Abad 21 di Mahakam 24

LY bercerita, selama 31 tahun menjadi advokat, tak pernah sekali pun menerima atau meminta suap. Itu hal terlarang. Haram.

Makanya ketika diberi amanah memimpin Dewan Pergerakan Pengacara Republik Indonesia (DePA-RI) dia selalu mengingatkan kepada advokat muda: "Jangan pernah kompromi dengan suap menyuap dan transaksi hukum. Negara dan kehidupan publik bisa kacau jika hukum diperjualbelikan."

Pengacara ini pernah menjadi asisten legenda penegak hukum Dr. Adnan Buyung Nasution, SH. "Bang Buyung adalah mentorku," tutur LY. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: Masjid Ramah Lingkungan dan Minyak Jelantah

Dosen dan peneliti Comparative Dispute Resolution universitas milik kekaisaran Jepang, Gakushuin University, Tokyo ini bercerita, pernah mau disuap sekian miliar rupiah saat menjadi pengacara jamaah umroh First Travel, yang gagal berangkat ke Tanah Suci tahun 2017 lalu.

"Pak Luthfi, ini ada uang sekian milyar. Silahkan Pak Luthfi ambil -- untuk bangun masjid, untuk yayasan, atau kebutuhan apa pun," ujar penegak hukum yang mewakili korban First Travel. 

Pihak First Travel atau oknum penegak hukum terkait mungkin berani menawarkan uang yang begitu besar kepada LY karena tahu, Luthfii suka rela menjadj advokat jemaah. Statusnys advokat probono. Tanpa bayaran. 

Baca Juga: TM Luthfi Yazid: Yusril dan Janji-janji Politiknya

"Tidak mas. Aku tak bisa menerima itu. Bagiku yang penting 63.000 klien kami bisa berangkat umroh sesuai janji biro First Travel, atau kalau tidak bisa berangkat ke Mekah dan Madinah, kembalikan utuh uangnya kepada jemaah yang telah membayar," kata mantan aktivis Pers Mahasiswa Mahkamah FH UGM itu. Uang yang harus dikembalikan First Travel kepada jamaah Rp 900 Milyar. 

Di layar kaca, aku sering mekihat perdebatan antara Luthfi Yazid yang menjadi pengacara jamaah umroh dan Eggi Sudjana, pengacara bos First Travel. Ujung dari proses hukum itu, untuk sementara  LY menang. 

Pemilik First Travel Andika Surachman dan istrinya Anniesa Desvitasari Hasibuan dinyatakan bersalah. Keduanya divonis 20 dan 18 tahun penjara. Uang jamaah disita negara. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: Budhy yang Budhis

"Lho, kenapa uang jamaah yang disita negara tidak dikembalikan kepada jamaah?" protes Luthfi. 

LY yang tadinya merasa menang karena pemilik First Travel dipenjara, kini galau. Bagaimana mungkin uang jamaah menjadi milik negara? 

Jaksa yang banding sampai level kasasi masih memutuskan aset FT disita negara. Setelah diprotes LY di level PK, putusannya dikembalikan ke jamaah. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: Amidhan dan Islamic Center Jonggol

Tapi, LY lagi-lagi kecewa. Karena yang dapat dikembalikan kepada jamaah berdasarkan keputusan pengadilan hanya sekitar Rp 40 miliar dari jumlah sekitar Rp 900 miliar.

Bila uang itu dikembalikan kepada jamaah  masing-masing hanya kebagian untuk beli bakso. Mestinya jamaah bisa dapat Rp 14 sampai 15 juta. 

"Terus, apa uang sebanyak itu, masuk rekening korban penipuan  First Travel?" tanyaku. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: SATUPENA di Tangan Midas

"Gak tahu. Itu urusan Kejaksaan, eksekutor negara. Tapi tampaknya sulit mentransfer uang sekitar Rp 150  ribu ke rekening 63.000 korban umroh bodong itu," jelas LY.

"Jadi, uang sekitar Rp 40 miliar itu dikemanakan?" sergahku.

"Ya, gak jelas. Ada yg bilang jadi  bancakan oknum penegak hukum. Aku sempat tanya pada jaksa yang menangani kasus First Travel. Kebetulan jaksa itu temanku, ujar LY. Jawabannya gak jelas. Mbulet." 

Baca Juga: Luthfi Yazid dan DePA-RI

"Kali ini aku kalah. Tak bisa memaksa kejaksaan mengembalikan semua uang milik jemaah umroh yang  berjumlah Rp 900 miliar itu," keluh LY.

Aku membatin. Mafia pengadilan itu terlalu kuat untuk ditembus. Bahkan negara pun memihaknya. So, what's next?

*Syaefudin Simon, kolumnis. ***

Berita Terkait