DECEMBER 9, 2022
Teknologi

Kesenjangan Digital: Kian Dalamnya Jurang Teknologi Antara Big Tech dan Pemerintah

image
Contoh lukisan yang dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Foto: Satrio Arismunandar

ORBITINDONESIA.COM - Di seluruh dunia, perusahaan besar teknologi memainkan peran yang semakin besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, dengan platform seperti Google, X, Facebook, dan TikTok menjadi sangat penting untuk mengakses informasi serta berkomunikasi dengan keluarga, teman, dan kolega lintas negara.

Selama bertahun-tahun, seluruh pemerintahan telah berusaha keras untuk mengimbangi pertumbuhan teknologi yang sangat pesat guna memastikan bahwa inovasi tidak mengorbankan privasi atau kesejahteraan masyarakat.

Namun, seiring munculnya regulasi yang lebih ketat mengenai akses data dan persaingan, perusahaan teknologi semakin khawatir tentang bagaimana undang-undang tertentu dapat membatasi perkembangan teknologi potensial, terutama kecerdasan buatan.

Baca Juga: Peneliti CIPS Muhammad Nidhal: Penyebab Judi Online Marak adalah Literasi Digital dan Keuangan yang Rendah

Kekhawatiran ini berada di pusaran tarik ulur yang semakin intens antara perusahaan besar teknologi dan pemerintah mengenai bagaimana platform internet perlu diatur.

Berbagai pemilu di seluruh dunia telah dipengaruhi oleh diskusi di media sosial, dengan masalah misinformasi, ujaran kebencian, dan penyebaran konten kekerasan yang semakin memburuk setiap harinya.

Baik politisi maupun masyarakat sipil telah menyuarakan kekhawatiran mengenai privasi data dan pengaruh asing dalam urusan lokal.

Baca Juga: Dirjen PPI Wayan Toni Supriyanto Jelaskan Konsep Gigabit City untuk Percepat Transformasi Digital Nasional

Sebagai tanggapan, berbagai pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk mengekang platform dunia maya dan perusahaan teknologi.

Pengelolaan data
Sejumlah pemerintah berusaha melindungi data pribadi di bawah undang-undang nasional, sementara perusahaan teknologi menentang desentralisasi operasi data mereka.

Sejak tahun 2018, Uni Eropa telah memberlakukan Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR), yang memberi individu hak untuk mengakses, memperbaiki, atau menghapus data mereka, sementara perusahaan diwajibkan mendapatkan persetujuan eksplisit saat mengumpulkan informasi pengguna.

Baca Juga: Dosen TI Universitas Mulawarman, Zainal Arifin Soroti Sisi Krusial Menjaga Keamanan Data di Era Digital

Namun, kontrol data pemerintah lainnya lebih eksplisit ditujukan pada perusahaan yang dianggap terkait dengan kekuatan asing tertentu.

Pada 2018, Australia menjadi negara pertama yang melarang Huawei ikut serta dalam pengembangan 5G-nya, setelah peringatan keamanan dari Amerika Serikat (AS) terkait potensi operasi mata-mata oleh China. Inggris, Selandia Baru, Jepang, dan Kanada mengikuti jejak ini dalam beberapa tahun berikutnya.

AS juga memimpin operasi untuk mengatur TikTok, dengan negara bagian Montana melarang platform media sosial itu sepenuhnya, demi mengutip risiko keamanan.

Baca Juga: Aplikasi Menara Masjid Baznas RI Akan Picu Digitalisasi Tata Kelola Unit Pengumpul Zakat di Masjid

TikTok menanggapinya dengan meluncurkan kampanye yang membuktikan bahwa mereka tidak memiliki hubungan dengan China, serta memulai inisiatif untuk merelokasi semua data pengguna AS agar dikelola oleh Oracle, sebuah perusahaan Amerika.

Sementara itu, Islandia mengambil langkah lebih jauh dalam hal privasi data warga, dan memiliki salah satu kebijakan pengelolaan data paling ketat di dunia.

Di sejumlah negara lain, pengguna biasanya harus menolak pengumpulan informasi mereka, sedangkan di Islandia, pengguna harus memberikan persetujuan eksplisit agar perusahaan teknologi dapat mengumpulkan informasi mereka.

Baca Juga: Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan Seksual Online: Menerapkan Asah Asih Asuh Anak di Ranah Digital

Regulasi konten
Berbagai negara juga telah memperkenalkan kebijakan yang bertujuan mengekang dan memantau ujaran kebencian, berita palsu, dan konten politik, yang sering kali bentrok dengan kebijakan kebebasan berpendapat perusahaan teknologi.

Beberapa minggu lalu, X dilarang di Brasil setelah pemiliknya, Elon Musk, menolak untuk melarang akun-akun yang oleh Mahkamah Agung negara tersebut dianggap menyebarkan "misinformasi pemilu".

Australia juga baru-baru ini memperkenalkan undang-undang yang dapat mendenda perusahaan media sosial hingga 5 persen dari pendapatan global mereka jika mereka gagal menangani "misinformasi berbahaya".

Baca Juga: Berkat Tingginya Kepemilikan Telepon Seluler, Jakarta Berpotensi Besar Jadi Pusat Ekonomi Digital Indonesia

Sebagai tanggapan, Musk menyebut Mahkamah Agung Brasil "diktator" dan pemerintah Australia "fasis", bahkan memohon kepada pemerintah AS untuk campur tangan dalam kasus Brasil tersebut.

Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, membalas komentar tersebut dengan mengatakan bahwa X memiliki tanggung jawab sosial untuk mengelola konten berbahaya.

Brasil membekukan rekening bank lokal X dan Starlink, perusahaan lain milik Musk, hingga mereka berhasil mengumpulkan sekitar 3 juta dolar AS (sekitar Rp46 miliar) sebagai denda karena melanggar hukum setempat.

Baca Juga: Perusahaan Konten Digital dan Hiburan, Nuon Bersiap Rilis Game Karya Anak Bangsa DreadHaunt

Di sisi lain, Malaysia menuduh Meta membatasi kebebasan berekspresi dan memblokir konten pro-Palestina, setelah platform tersebut menghapus unggahan Perdana Menteri Anwar Ibrahim mengenai pembunuhan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh.

Meta menyatakan kebijakan mereka menentang "promosi organisasi berbahaya", tetapi kemudian meminta maaf dan mengembalikan foto tersebut. Namun, Meta tetap memberi pemberitahuan bahwa foto tersebut dipulihkan karena "sifatnya yang penting bagi berita".

Meta sebelumnya terlibat dalam kontroversi besar terkait skandal Cambridge Analytica, di mana data puluhan ribu orang dicuri untuk mempengaruhi pemilu dan referendum di negara-negara seperti AS, Filipina, Kenya, India, dan Inggris.

Baca Juga: Menteri Transformasi Digital Jepang, Taro Kono Akan Calonkan Diri Menjadi Pemimpin Partai Berkuasa LDP

Dominasi pasar
Berbagai wilayah di dunia juga menerapkan kontrol pasar untuk mengekang praktik monopoli perusahaan.

Perusahaan teknologi besar telah melobi dengan intens dan berargumen agar pembatasan operasi tidak terlalu ketat atau menghambat kemampuan perusahaan untuk menawarkan layanan gratis atau mengembangkan teknologi baru secara efisien.

Undang-undang Pasar Digital Uni Eropa (DMA) yang disahkan pada tahun 2022 bertujuan menghentikan perusahaan manapun untuk "menghalangi" persaingan dan pilihan konsumen, dengan menargetkan perusahaan seperti Amazon, Apple, Google, Meta, dan Microsoft.

Baca Juga: Bank Indonesia, Anastuty Kusumowardhani: Digital Mindset Jadi Kunci Bagi Transformasi Digital pada UMKM

Kebijakan ini memastikan bahwa perusahaan teknologi tidak hanya memungkinkan interoperasi layanan platform pihak ketiga, tetapi juga memastikan transparansi data, serta melarang prioritisasi produk atau layanan sendiri secara tidak adil dalam domain masing-masing.

Contohnya adalah ketika Apple dipaksa untuk memungkinkan teknologi NFC di ponsel mereka dapat dioperasikan dengan aplikasi pembayaran lain, bukan hanya Apple Pay.

Google juga dipaksa oleh Komisi Eropa untuk memungkinkan mesin pencari pihak ketiga beroperasi dengan layanan inti Android, sehingga memungkinkan kompetitor untuk menawarkan alternatif daripada aplikasi internal mereka sendiri.

Baca Juga: 4 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Kreativitas di Era AI

Kedua perusahaan ini juga harus membuka ekosistem toko aplikasi mereka agar toko aplikasi alternatif pihak ketiga dapat beroperasi di perangkat mereka.

Tata kelola lintas batas
Tantangan besar bagi pemerintah adalah mendorong perusahaan untuk mematuhi undang-undang lokal yang berbeda-beda. Berbagai negara telah meniru undang-undang yang ada di negara lain atau bekerja sama dengan pemerintah yang berpikiran sama untuk memastikan bahwa kebijakan tetap konsisten.

Di sisi lain, perusahaan seperti Meta dan Google telah menciptakan kebijakan mereka sendiri untuk mengelola ujaran kebencian dan informasi berbahaya, serta mengembangkan cara yang lebih mudah diakses bagi pengguna untuk keluar dari pengumpulan data tertentu yang berlaku di semua wilayah tempat mereka aktif.

Baca Juga: Denny JA Bentuk Forum Kreator Era Artificial Intelligence: Segera Terbentuk Dari Sumatra Sampai Papua

Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) Eropa telah menginspirasi negara-negara non-Uni Eropa (EU) lainnya seperti Inggris, Korea Selatan, Jepang, Argentina, India, dan Selandia Baru untuk mengambil langkah serupa dalam melindungi privasi data.

Negara-negara lain di Area Ekonomi Eropa, seperti Islandia, Liechtenstein, dan Norwegia, telah sepenuhnya mengadopsi GDPR.

Contoh lain yang sedang berkembang dari tata kelola lintas batas terkait pengelolaan data adalah Kerangka Privasi Data EU-AS. Kerangka ini mewajibkan perusahaan AS untuk mengikuti standar perlindungan data Eropa ketika menangani informasi pribadi warga negara EU.

Baca Juga: Megawati di Kampus St. Petersburg University: Artificial Inteligence Tidak Boleh Mengabaikan Kebenaran dan Etika

Sebagai perusahaan teknologi terus mendorong batas-batas, terutama dalam bidang kecerdasan buatan, gesekan antara perusahaan teknologi dan lembaga pemerintah diperkirakan akan semakin meningkat.***

Sumber: Antara

Berita Terkait