DECEMBER 9, 2022
Kolom

Paus Fransiskus, Gembala Agama Cinta

image
Paus Fransiskus (Foto: Vatican News)

Alhasil, ajaran sosial gereja yang dikembangkan oleh Paus Fransiskus sangat sejalan dengan prinsip dan moral Pancasila: Ketuhanan welas asih yang berkebudayaan (berkeadaban); kepedulian dan penghormatan kemanusiaan universal; persatuan dalam keragaman; konsensus dengan hikmat-kebijaksanaan, serta kemakmuran yang berkeadilan (baik antar-sesama sezaman maupun antar-generasi).

Demikianlah, dalam “agama cinta” (rahmat bagi semesta), kebenaran dan keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta memeluk semuanya. Manusia boleh berbeda keyakinan, tapi cinta menyatukannya. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, "Mereka yang bukan saudara dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan."

Perwujudan ajaran sosial “agama cinta” yang sejalan dengan semangat moral Pancasila itu sungguh-sungguh diperlukan untuk memulihkan luka dan prahara kemanusiaan masa kini. Berbagai krisis, konflik dan kekerasan sosial yang melanda dunia saat ini antara lain disebabkan oleh merebaknya kecenderungan pemahaman, penghayatan dan pengamalan keagamaan yang tidak lagi mencerminkan semangat “ketuhanan yang berkebudayaan”; “yang lapang dan toleran”, sebagaimana ditandaskan oleh Bung Karno.

Baca Juga: Staf Museum di Vatikan Ajukan Pengaduan Kolektif Pertama Kalinya, Minta Perbaikan Kondisi Kerja

Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya.  Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif, conscious-intimacy, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang suci dan yang profan.

Tanpa penghayatan spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.

Pemulihan krisis kehilangan basis kepercayaannya ketika agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang dan perawatan, justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.

Baca Juga: Lomba Esai untuk Lukisan Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia

Dalam kaitan itu lah, kehadiran Paus Fransiskus dan kunjungannya ke Indonesia bisa menjadi oase di tengah gurun kekeringan dunia kehidupan yang harus disambut dengan suka cita.

Untuk bisa lebih menghayati makna kehadiran Sang Paus di pentas dunia dan kunjungannya ke negeri ini, buku Benvenuto Papa Francesco, karya St. Sularto dan T. Krispurwana Cahyadi, SJ ini bisa menjadi panduan dan mitra pengenalan. Lewat buku ini, kita diajak untuk mengenal lebih dekat, jejak langkah perjuangan dan keteladan Sang Paus sebagai reformer dalam Gereja Katolik dan juga dalam kepemimpinan moral semesta kemanusiaan.

(Kata Pengantar untuk Buku "Benvenuto Papa Francesco: Sang Reformer, Pesan dan Kesaksian", karya St. Sularto & T. Krispurwana Cahyadi, SJ) ***

Baca Juga: Ketua KWI Antonius Subianto Bunjamin: Paus Fransiskus Bawa Misi Kemanusiaan ke Indonesia

Halaman:
1
2
3
Sumber: Buku St Sularto & T Krispurwana Cahyadi, SJ

Berita Terkait