Denny JA Mengungkap Tiga Fakta Tercecer Sejarah Bangsa
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 19 Agustus 2024 06:36 WIB
Pembaca bertemu Rahma (“Jangan Panggil Aku Gadis Penghibur”), Rara (“Rara Masih Mencari Sari”), Nenek Bambang (“Mencari Makam Nenek”), Sonya (“Lima Puluh Tahun Kututup Rahasia Itu Rapat-Rapat”), dan Sakinah (“Luka Itu Dibawanya Hingga Mati”).
Lima perempuan yang terjerumus dalam jebakan propaganda iming-iming kesempatan kerja di Kalimantan untuk kehidupan yang lebih baik, namun berakhir menjadi sasaran pelampiasan syahwat kebinatangan.
Dalam sehari, seorang jugun ianfu seperti Rahma dan Sonya bisa didatangi 10 – 15 prajurit Kaisar Dewa Matahari yang merudapaksa kapan saja.
Bukan hanya para perempuan Indonesia yang menjadi korban mereka, juga para dara tak berdaya dari Filipina, Cina, Taiwan, dan Korea Selatan.
Sedikitnya 200.000 perempuan menjadi vandalisme kejantanan selama penjajahan Bala Tentara Jepang di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara di era Perang Dunia II.
Pada 1995 Perdana Menteri Tomiichi Murayama menyampaikan permintaan maaf atas perilaku tentara mereka itu. Namun sampai dunia memasuki milenium ketiga, politisi seperti Walikota Osaka, Toru Hashimoto, masih membela laku bejat itu dengan alasan “daripada Tentara Jepang memperkosa penduduk, lebih baik disediakan rumah bordil. Itu bagian disiplin Tentara Jepang.” (hal. 22). Maka dibuat rasio 70: 1 atau untuk setiap 70 orang prajurit disiapkan seorang jugun ianfu pelepas syahwat.
Sebagai penyair puisi esai, Denny JA menggambarkan fragmen kedukaan personal para jugun ianfu dengan pilihan frasa yang membuat sesak napas pembaca. Misalnya pada kalimat berikut ini: sebelum Rahma mati di tahun 2007/Rahma sudah menguburkan dirinya sendiri (“Jangan Panggil Aku Gadis Penghibur’, hal. 4).
Atau kalimat ini: Luka batin Sakinah karena dipaksa menjadi gadis penghibur tetap menganga/Namun ternyata ada luka yang lebih perih/Hingga suaminya wafat Sakinah tak berani memberi tahu/bahwa dirinya dulu pernah dipaksa menjadi gadis penghibur tentara Jepang. ("Luka Itu Dibawanya Hingga Mati”, hal. 20).
Denny JA tak menggunakan diksi atau ungkapan metaforis demi mengejar puncak-puncak estetika bahasa, melainkan memilih stilisasi ekspresi yang tak akan menimbulkan perbedaan pemahaman di benak pembaca.
000