Denny JA Mengungkap Tiga Fakta Tercecer Sejarah Bangsa
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 19 Agustus 2024 06:36 WIB
Bagian kedua bertema “Kisah Derita Rakyat yang Kerja Paksa” adalah cuplikan cerita para romusha, lelaki pekerja proyek infrastruktur yang membangun jalan, pelabuhan, landasan pacu, dan aneka proyek konstruksi lainnya.
Lima puisi esai dalam topik ini membuat pembaca bertemu dengan Samin (“Samin Terkapar di Anyer – Panarukan”), Joko (“Wahidin dan Rel Kematian”), Bayu (“Mencari Kakek di Hutan Kalimantan”), Ampong (“Atas Nama Dewi Keadilan”), dan Bambang (“Pulang Kampung Mencari Kenangan”).
Jika bagian pertama membuat air mata pembaca berderai-derai—paling tidak membuat mata basah berkabut—maka bagian kedua membuat ulu hati mual bercampur rasa geram atas kebiadaban yang dibenarkan atas nama penjajahan. Atas nama pembangunan.
Pada kisah Samin yang menjadi seorang romusha pembangunan Jalan Raya Pos Anyer – Panarukan sepanjang 1.000 km dan menelan nyawa ribuan pekerja, Denny menulis: Tapi 12 ribu orang mati karena membuat jalan ini. Ini sejenis genosida atas nama pembangunan. (hal. 27).
Kalimat Denny JA ini mengingatkan saya pada sebaris larik puisi dramawan masyhur Jerman, Bertolt Brecht (1898 – 1956) yang berbunyi: _pada malam Tembok Tiongkok berdiri, ke manakah para tukang batu pergi?
Ada kegetiran eksistensial yang serupa pada kalimat Denny dan Brecht. Bahwa untuk setiap keberhasilan proyek mercu suar yang berkibar, fondasinya adalah tumpasnya ribuan nyawa manusia dalam keadaan teraniaya secara barbar.
Bagian ketiga antologi puisi esai ini mengusung tema “Kisah Para Nyai dan Gundik Tuan Belanda”, kembali akan membuat mata pembaca menjadi telaga air mata setelah mengetahui bagaimana nasib para perempuan Indonesia hanya menjadi properti di dalam dunia patriarki yang didominasi hegemoni para lelaki bertubuh tonjang, berambut pirang, yang datang dari berbilang samudera seberang. Mereka menjadi tuan dan penguasa atas tubuh molek gadis-gadis khatulistiwa.
Denny JA menggambarkan tanpa tedeng aling-aling: Kerja Nyai, melayani Tuan Belanda/Melahirkan anak/Tapi Nyai tak punya hak atas anak yang dilahirkannya/Tuan Belanda bisa membawa anak itu kapan saja/Hukum Belanda tak melindungi Nyai/Masyarakat Belanda melihat Nyai bukan warga setara/Beda agama/Beda pendidikan/Beda status pendidikan/Beda kelas. (“Gadis Belanda Mencari Neneknya di Cimahi”, hal. 52 – 53).
Namun, Denny JA tak selalu menggunakan bahasa lugas gamblang. Terkadang digunakannya juga pola repetisi yang—untungnya—berhasil memperkuat kekuatan makna seperti pada bagian ini:
Arthur memang menyayanginya