DECEMBER 9, 2022
Kolom

Abustan: Mental Kerakyatan dan Kebangsaan 

image
Abustan, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta (Foto: koleksi pribadi)

Oleh Abustan*

ORBITINDONESIA.COM - Ketika menjadi dewan juri baca puisi yang diselenggarakan perkumpulan penulis Indonesia SATUPENA, saya begitu tergugah mendengar seorang gadis cilik membacakan puisi "Karawang Bekasi" karya Chairil Anwar.

Dengan penghayatan total serta suara yang begitu heroik, ia menutup alinea terakhir dengan sangat ekspresif. Merebahkan tubuhnya sambil menengadahkan tangannya: "Kenang, kenanglah kami. Teruskan, teruskan jiwa kami. Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir."

Baca Juga: Abustan: Belajar dari Demokrasi Desa?

Nama Bung Hatta kembali menyegarkan memori kita kembali pada kesederhanaan dan cita-cita Indonesia yang merdeka, kekal dan abadi  sepanjang sejarah.

Karena itu, memperingati perayaan HUT Kemerdekaan RI, bangsa Indonesia haruslah selalu mengingat dan mengenang salah satu proklamator bangsa Indonesia, yaitu Bung Hatta. Mantan Wapres pertama RI ini adalah simbol kejujuran, kesederhanaan, kecerdasan dan dikenal berintegritas tinggi.

Dengan demikian, wajiblah kita kenang saat menjelang HUT Kemerdekaan. Apalagi di tengah kehidupan bangsa yang sarat dengan keserakahan, kemunafikan (hipokrisi) dan korupsi yang begitu massif.

Baca Juga: Abustan: Keprihatinan Kampus Selamatkan Demokrasi

Figur Bung Hatta, tentu saja menjadi tepat dan relevan ketika nilai feodalisme, individualistis, dan kapitalisme menggerogoti sendi-sendi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada momen seperti inilah, Bung Hatta menjadi jawaban keteladanan yang dikenal sebagai tokoh yang sangat setia dan konsisten terhadap nilai kebangsaan dan kerakyatan.

Bahkan, lebih dari perjuangan mengusir kolonialisme dan mempertahankan Tanah Air. Dalam pandangan Bung Hatta kemerdekaan sejatinya adalah refleksi kemenangan jiwa manusia yang merdeka dari virus keserakahan dan monopoli dari berbagai aspek kehidupan. 

Oleh sebab itu, perayaan 79 tahun kemerdekaan ini warisan mentalitas kolonial yang tak berperikemanusiaan harus dijauhkan dari praktik kekuasaan. Karena itu, perayaan kemerdekaan ini haruslah menyegarkan kembali spirit perjuangan melawan berbagai kesenjangan.

Baca Juga: Abustan: Wajah Rakyat di Puncak Pemilu

Tak dapat diingkari sepanjang tahun ini, kesenjangan hukum dan ekonomi masih saja memprihatinkan dan "membelenggu'" kehidupan rakyat. Akibat ketidaknormalan sistem ini, nampak sangat merusak tatanan moral dalam kehidupan berbangsa.

Hari-hari terasa memprihatinkan, jika negara kita justru semakin bergerak ke arah negara kekuasaan. Apalagi pemerintah telah menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan, bukan sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan.

Ironinya, pemerintah tidak sadar bahwa ketika hukum dijadikan instrumen kekuasaan, maka wibawa hukum di hadapan masyarakat akan terpuruk. Selain itu, hukum yang seharusnya menjadi penjaga ketertiban dan kohesi sosial, menjadi tidak berfungsi dengan baik.

Baca Juga: Abustan: Imaji Demokrasi, Kembali ke Rumah Sendiri

Dalam banyak kasus acapkali muncul kesan adanya "pengistimewaan hukum" yang luar biasa terhadap para sekutu pemerintah. Namun di sisi lain, secara kasat mata ada upaya kriminalisasi terhadap pihak yang berhak atau terhadap lawan-lawan politik pemerintah. 

Perilaku demikian tentu keluar dari koridor karakteristik negara hukum. Sebab, negara hukum adalah negara yang diperintah bukan oleh orang, tetapi oleh hukum.

Penting untuk dipahami pengaturan konsep negara hukum yang ditempatkan dalam Pasal 1 (pasal pertama dalam UUD) tentunya memiliki makna bahwa konsep negara hukum merupakan sesuatu yang urgensinya sangat signifikan dalam kehidupan bernegara.

Baca Juga: Abustan: Mencegah Jebakan Paradoks SDA Indonesia

Maka, dalam perjalanan kemerdekaan yang ke 79 tahun ini, kita sebagai warga negara merindukan hukum berfungsi sebagai garis virtual yang membuat orang tahu posisi, peran, serta hak dan kewajibannya sehingga kekuasaan selalu berada pada jalur yang benar.

Bukan sebaliknya, kekuasaan selalu memiliki kecenderungan disalahgunakan, seperti bunyi adagium terkenal dari Lord Acton "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely".

Dalam kaitan ini, mengingatkan kembali kata Bung Hatta: "Pendeknya cara mengatur pemerintahan negara, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat."

Baca Juga: Abustan: Pendidikan dan Kesehatan Hak Dasar Manusia Indonesia

Itulah corak kepemimpinan yang berbasis kerakyatan dan kebangsaan. Haruslah disadari bahwa kita memiliki pandangan hidup dan sistem kehidupan bernegara yang harus terus "mengkristal" dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, suara moral harus terus diaktipkan dan dinyalakan melawan nafsu keserakahan dan ketidakadilan. 

Jakarta, 16 Agustus 2024

*Abustan adalah akademisi, pakar hukum. ***

Sumber: Antara

Berita Terkait