Abustan: Belajar dari Demokrasi Desa?
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 16 Januari 2024 12:29 WIB
Oleh: Abustan
Dosen/Pengajar Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta
ORBITINDONESIA.COM - Sekitar sebulan lagi, tepatnya 14 Februari 2024 pesta demokrasi akan dilangsungkan melalui pemilihan umum sebagai instrumen pelaksanaan demokrasi.
Pemilihan umum yang merupakan kehendak rakyat, artinya pemilu sebagai sarana untuk memastikan adanya sirkulasi kekuasaan secara demokratis, akuntabilitas dan kontrol publik yang kuat terhadap negara.
Namun, mencermati berbagai tahapan pemilu justru praktek demokrasi tak memberikan cita rasa yang lebih berkualitas (bermartabat) tetapi sebaliknya nampak mengalami kemunduran.
Ketika keadilan, kebenaran, transparansi, etika dan adab demokrasi semakin tergerus alias tak menunjukkan trend perbaikan / perubahan ke arah pencapaian "substansi demokrasi".
Bahkan, berbagai argumen dan persepsi publik yang berkembang memberikan penilaian skeptis dan kini demokrasi dianggap mengalami arus balik (kemunduran). Dengan munculnya rupa - rupa praktek demokrasi yang menganggu hadirnya demokrasi yang sehat.
Katakanlah politik dinasti, potensi pemanfaatan kelembagaan negara, dan bantuan sosial untuk rakyat yang rawan di politisasi oleh Paslon yang dianggap dekat dengan kekuasaan.
Kesemuanya itu, menunjukkan adanya dinamika yang kurang fair dan tidak berkeadilan di tengah masyarakat di tahun politik. Refleksi yang tak mengembirakan itu juga disuarakan oleh pers luar negeri (majalah time).
Belum lagi yang kasat mata ditemukan adanya praktek permainan uang (money politics). Dengan demikian, makin menunjukkan konfirmasi kepada kita adanya indikator kembalinya kekuasaan otoriter.
Demokrasi yang diperjuangkan
Pada tahap ini telah cukup bukti (fakta) untuk menyimpulkan bahwa demokrasi yang diperjuangkan selama era reformasi berjalan di atas pijakan yang rapuh.
Sebab, realitas perkembangannya yang tampak adalah pendalaman oligarki, perluasan korupsi (berjamaah sampai ke daerah), dan moral hazard yang melanda penyelenggara negara, mencerminkan kondisi - kondisi yang makin jauh antara kenyataan ( realitas) dengan yang seharusnya (ideal).
Karena itu, dalam pembangunan terdapat Postulat, seperti yang dipersyaratkan oleh Seymour Martin Lipset: bahwa semakin setara dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang demokrasi.
Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat mempertahankan oligarki atau tirani. Sejatinya, konstruksi demokrasi yang kita pilih, harus diakui justru kian memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Padahal, demokrasi yang kita perjuangkan pada hakekatnya adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat yang relatif setara.
Bukan pemerintah untuk memimpin dengan cara mendominasi seluruh dimensi kehidupan publik. Termasuk dalam pemilikan sumberdaya politik dan proses pemilihan presiden/wakil presiden yang kita saksikan sekarang.
Walaupun, tak dapat diingkari bahwa dalam kompetisi semua kekuatan politik dilancarkan dengan berbagai ragam strategi. Termasuk berupaya memenangkan pertarungan dengan satu putaran.
Hal itu dibenarkan dalam regulasi yang secara eksplisit disebutkan dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang pemilu: bahwa untuk menang satu putaran, kandidat harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen plus sedikitnya 20 persen suara di tiap provinsi di lebih dari separuh jumlah pemerintah tingkat 1.
Itu sah sah saja jika ada kandidat yang mencapai seperti yang ada dalam aturan.
Namun, sama sekali tidak dibenarkan jika usaha Jokowi untuk memenangkan Paslon 02 satu putaran dengan cara pemihakan yang dilakukan dengan mempergunakan jabatannya sebagai presiden. Tentu cara memperjuangkan demokrasi yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Hal mana menunjukkan ada proses relasi kuasa yang sesungguhnya mengarah ke fenomena terjadinya "degradasi" demokrasi.
Gejala ini bisa dimaknai sebagai pemburukan kualitas demokrasi, yang akan dikenang dalam sejarah demokrasi Indonesia. Sebab komitmen untuk menghormati hukum dan keadaban sudah terabaikan.
Walhasil, yang muncul dipermukaan semua cara "dihalalkan". Seperti yang banyak dianologikan bahwa pertarungan pemilu pilpres (kompetisi) makin tidsk adil.
Sebab wasit, penjaga garis, panitia pertandingan, pemilik stadion, bahkan sampai petugas bersih-bersih stadion pun memihak satu tim untuk menang.
Pertanyaannya, inikah bentuk demokrasi yang diperjuangkan reformasi ? Melihat situasi perjalanan demokrasi yang kini sudah melenceng dari koridor demokrasi. Maka kita pun kembali rindu demokrasi desa yang penuh kedamaian dan kejujuran dalam memilih pemimpin.
Selamatkan demokrasi
Indonesia merdeka, sejujurnya bukan hanya demi rakyat, melainkan juga harus dijalankan oleh rakyat atas nama penugasan rakyat.
Akan tetapi berkaca pada proses memilih pemimpin lewat seleksi dan kontekstasi elektoral yang ada, kita pun bertanya apakah demokrasi kita perlu diselamatkan ?.
Pertanyaan ini muncul tatkala melihat fakta fakta yang berkembang akhir akhir ini. Bahkan sampai menimbulkan pertanyaan fundamental, apakah kita harus belajar dari "demokrasi desa" tradisional ?.
Meski disadari, UUD NRI 1945 sama sekali tidak memuat jaminan demokrasi. Dan karena itu, tentu saja mudah diterobos serta dimanipulasi oleh berbagai modus dan cara.
Apalagi parpol cenderung terkungkung dalam jerat kekuasaan yang menyesatkan.
Karena itulah, menyambut pemilu di tahun politik 2024 ini kita harus berdiri tegak dan konsisten mempertahankan kemajuan - kemajuan demokratis yang dicapai sesudah jatuhnya rezim Orde Baru.
Lebih dari itu, kita jangan izinkan pihak manapun kembali "mencuri" marwah demokrasi kemudian menukarnya dengan "otoritarianisme" sehingga rakyat kehilangan kendali menentukan nasibnya sendiri.
Oleh sebab itu, menghadapi tantangan dan ujian demokrasi yang makin dahsyat terjadi belakangan ini, maka ada baiknya kita kembali belajar "demokrasi desa" tradisional yang penuh kesederhanaan dan ketulusan. Tetapi mampu menjalankan kejujuran atau jargon demokrasi yang sesungguhnya.
Dengan demikian, prinsip dasar demokrasi yang menyatakan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" bukan hanya slogan yang absurd tetapi benar- benar hadir "membumi" di jagat Indonesia Raya.
Jakarta, 16 Januari 2024 ***