DECEMBER 9, 2022
Kolom

Abustan: Mental Kerakyatan dan Kebangsaan 

image
Abustan, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta (Foto: koleksi pribadi)

Hari-hari terasa memprihatinkan, jika negara kita justru semakin bergerak ke arah negara kekuasaan. Apalagi pemerintah telah menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan, bukan sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan.

Ironinya, pemerintah tidak sadar bahwa ketika hukum dijadikan instrumen kekuasaan, maka wibawa hukum di hadapan masyarakat akan terpuruk. Selain itu, hukum yang seharusnya menjadi penjaga ketertiban dan kohesi sosial, menjadi tidak berfungsi dengan baik.

Dalam banyak kasus acapkali muncul kesan adanya "pengistimewaan hukum" yang luar biasa terhadap para sekutu pemerintah. Namun di sisi lain, secara kasat mata ada upaya kriminalisasi terhadap pihak yang berhak atau terhadap lawan-lawan politik pemerintah. 

Baca Juga: Abustan: Belajar dari Demokrasi Desa?

Perilaku demikian tentu keluar dari koridor karakteristik negara hukum. Sebab, negara hukum adalah negara yang diperintah bukan oleh orang, tetapi oleh hukum.

Penting untuk dipahami pengaturan konsep negara hukum yang ditempatkan dalam Pasal 1 (pasal pertama dalam UUD) tentunya memiliki makna bahwa konsep negara hukum merupakan sesuatu yang urgensinya sangat signifikan dalam kehidupan bernegara.

Maka, dalam perjalanan kemerdekaan yang ke 79 tahun ini, kita sebagai warga negara merindukan hukum berfungsi sebagai garis virtual yang membuat orang tahu posisi, peran, serta hak dan kewajibannya sehingga kekuasaan selalu berada pada jalur yang benar.

Baca Juga: Abustan: Keprihatinan Kampus Selamatkan Demokrasi

Bukan sebaliknya, kekuasaan selalu memiliki kecenderungan disalahgunakan, seperti bunyi adagium terkenal dari Lord Acton "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely".

Dalam kaitan ini, mengingatkan kembali kata Bung Hatta: "Pendeknya cara mengatur pemerintahan negara, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat."

Itulah corak kepemimpinan yang berbasis kerakyatan dan kebangsaan. Haruslah disadari bahwa kita memiliki pandangan hidup dan sistem kehidupan bernegara yang harus terus "mengkristal" dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, suara moral harus terus diaktipkan dan dinyalakan melawan nafsu keserakahan dan ketidakadilan. 

Baca Juga: Abustan: Wajah Rakyat di Puncak Pemilu

Jakarta, 16 Agustus 2024

Halaman:
1
2
3
Sumber: Antara

Berita Terkait