Abustan: Keprihatinan Kampus Selamatkan Demokrasi
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 05 Februari 2024 11:54 WIB
Oleh: Abustan, Pengajar Magister Ilmu Hukum S2 Universitas Islam Jakarta
ORBITINDONESIA.COM - Berbagai keprihatinan sikap para Guru Besar dan Sivitas Academika terus bergemuruh mengekspresikan kegelisahan, ketika menyaksikan kondisi dan konstelasi dinamika pemilu 2024.
Realitas ini, di pandang sebagai langkah dari Presiden Joko widodo yang sudah keluar dari koridor asas pemilu yaitu: Luber dan Jurdil sebagai amanat konstitusi. Bahkan, merupakan ancaman demokrasi.
Baca Juga: Dr Abustan: Kemiskinan, Pendidikan, dan Kesejahteraan
Tampaknya, jika dicermati gerakan moral kali ini menarik dan berbeda dengan reformasi 1998 yang di motori oleh mahasiswa.
Kali ini, justru digarda terdepan dimulai dari dosen dan guru besar. Keritik ditujukan kepada presiden yang dianggap mengalami "krisis kenegarawanan" dengan pernyataan sikap "Indonesia darurat kenegarawanan".
Kritik ini merupakan akumulasi dari pernyataan Jokowi yang menyebut : Presiden boleh memihak / berkampanye di pilpres 2024. Di samping itu juga keterlibatan langsung presiden membagi-bagi Bansos ke masyarakat yang dikwalifisir tidak fair karena hanya menguntungkan salah satu paslon.
Baca Juga: Dr H Abustan: Sepekan Ramadan Berlalu
Karena itu, publik berharap penyelenggaraan pemilu haruslah dibuktikan dengan sikap netralitas dan ketidakberpihakan oleh pejabat publik. Inilah sesungguhnya yang di suarakan kampus - kampus yang ada di Indonesia.
Kedaulatan Rakyat
Dalam demokrasi, rakyat sebagai pemegang kedaulatan utama. Oleh sebab itu, demokrasi adalah sistem politik yang berlandaskan pada kekuasaan rakyat atau kedaulatan rakyat.
Baca Juga: Abustan: Kasus Rocky Gerung dan Nilai Demokrasi Indonesia
Pidato politik Presiden Abraham Lincoln tahun 1863 yang sangat terkenal itu secara sederhana mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government from the people, by the people and for the people).
Kedaulatan rakyat menjadi ciri utama demokrasi dan dilaksanakan melalui sistem demokrasi langsung. Namun, berkaca dua pesta demokrasi (2014-2019) harus diakui telah menjadi kenangan buruk atau duka kelam, sebagai akibat kerasnya polarisasi politik sehingga telah memecah-belah anak bangsa.
Maka, pada pemilu 14 Februari 2024 harus diakui telah memunculkan adanya tanda-tanda polarisasi akan terus mengeras, sebagai akibat ketidaknetralan yang terus dikondisikan oleh pemerintah.
Baca Juga: DR H Abustan: Antiklimaks Putusan Mahkamah Konstitusi
Pada titik inilah, para insan kampus menangkap gejala tidak sehat ini dalam alam demokrasi. Akhirnya muncullah beragam seruan, pernyataan sikap, manifesto penyelamatan bangsa, dan petisi gerakan moral dari kampus.
Sampai hari ini sudah terdaftar sekitar 29 kampus, yaitu bergerak menyuarakan agar pemerintahan Jokowi bersikap netral dalam pemilu demi menjaga demokrasi.
Ancaman
Baca Juga: Dr H Abustan: Civil Society Pemilu 2024 yang Lebih Berkualitas
Sekali lagi, sekarang demokrasi kita memang sedang mengalami ancaman. Terancam setelah melewati dua dasawarsa. Di mana momentum reformasi yang pernah menyapa tekad kebangkitan demokrasi di negeri ini nampak telah memudar.
Cita - cita dan tujuannya yang begitu ideal tergerus oleh sistem yang tidak akomodatif bagi sistem demokrasi itu sendiri.
Pada gilirannya, praktek demokrasi hanya dinikmati oleh mereka yang memiliki finansial. Demokrasi jadi mahal (high cost) sehingga hanya diuntungkan oleh kaum oligarki atau mereka yang merasa mendominasi perekonomian Indonesia.
Baca Juga: Abustan: Belajar dari Demokrasi Desa?
Kini, setelah Indonesia menjalankan demokrasi dengan sistem pemilihan langsung kita baru menyadari kelemahannya. Dan, seperti yang diingatkan oleh Seymour Martin Lipset, bahwa "semakin setara dan sejahtera sebuah bangsa , semakin besar peluangnya untuk menopang demokrasi.
Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat mempertahankan oligarki atau tirani.
Merujuk bagi-bagi Bansos yang lagi trend akhir-akhir ini, memberikan konfirmasi kebenaran terhadap tesis tersebut bahwa betapa buruknya mengadopsi institusi demokrasi liberal yang tidak sepenuhnya "kompatibel" dengan kondisi sosio-historis Indonesia.
Maka, tidaklah mengherankan jika sudah sedemikian gencarnya seruan penyelamatan demokrasi dengan berbagai narasinya dari berbagai kampus, yang intinya adalah mengoreksi kepemimpinan jokowi.
Dan jika terus tak bergeming ia akan berhadapan dengan arus demokrasi. Sebab, tentu saja seruan moral sebagai wujud keprihatinan kampus akan terus bergema menyelamatkan demokrasi Indonesia.
Jakarta, 3 Februari 2024 ***