Abustan: Wajah Rakyat di Puncak Pemilu
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 19 Februari 2024 16:44 WIB
Oleh: Abustan, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta
ORBITINDONESIA.COM - Sejujurnya, prinsip dasar demokrasi yang menyatakan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat " cukup membingungkan, jika tak mau dibilang sangat menyesatkan, pada level implementasinya.
Bagaimana tidak, jika yang disebut "rakyat" sebagai gagasan utama dari prinsip demokrasi, yang kemudian jadi slogan itu, dalam faktanya menjadi kerdil dari makna besar yang terkandung dalam konteks ide otentiknya, juga dari kenyataan sesungguhnya.
Baca Juga: Abustan: Terbuka - Tertutup, Apa yang Kau Cari
Makna praktis dari kata "dari" ternyata terekspresikan hanya dalam bentuk suara alias vote. Semacam material dari hak abstrak rakyat. Individu yang memiliki hak konstitusional untuk memenuhi kalkulasi/penghitungan hasil praktik utama demokrasi pemilihan umum.
Individu sebagai subjek pembentuk kolektivitas-komunal "rakyat". Dan eksistensinya ditransformasi menjadi "satuan" angka. Bahkan ditabulasi dalam mesin hitung yang menentukan keabsahan demokrasi dari kemenangan kontestasi elektoral.
Nah, makna sesungguhnya kontestan pasti tujuannya atau diorientasikan untuk menang. Proses berjuang untuk menang salah satunya mengawal dan mengamankan suara yang masuk ketika proses pemilihan berlangsung.
Baca Juga: Dr Abustan: Tegak Lurus Konstitusi
Tentu dengan cara mengantisipasi kecurangan dengan berbagaicara, modus, serta berbagai argumentasi pembenaran.
Berbagai anomali
Hingga hari ini, di tengah hingar bingar pasca pencoblosan pemilu pilpres 2024, ternyata tampak hanya diwujudkan sebagai representasi politik belaka.
Baca Juga: Dr Abustan: Pemilu dan Kualitas Pemimpin
Representasi dari akumulasi satuan yang kemudian menjadi dasar legitimasi. Meski terus menuai anomali dan kontroversi persepsi publik.
Seperti diketahui, belakangan publik dihebohkan anomali perhitungan suara dalam sistem rekapitulasi online Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kejanggalan demi kejanggalan yang bermunculan itu, mendorong berbagai pihak untuk mengecek satu persatu data C1. Hasil dari data tabulasi di sistem pemilu.
Baca Juga: Dr Abustan: Kemiskinan, Pendidikan, dan Kesejahteraan
Dari berbagai klarifikasi diakui terdapat adanya penggelembungan suara, serta ketidaksempurnaan pembacaan dokumen C1 yang diunggah melalui Sirekap.
Oleh sebab itu, berbagai anomali pemilu, menunjukkan bahwa kata "suara rakyat suara tuhan" mengalami pengkerdilan makna yaitu ketika tidak lagi di posisikan pada tempat yang "proporsional" karena rakyat mayoritas mengalami degradasi, ketimbang orang-orang mampu (pengusaha), pejabat pemerintah,.atau elite pada umumnya yang jumlahnya tidak banyak dari populasi.
Kini populer di istilahkan jumlahnya 1/3 yang menguasai perekonomian bangsa Indonesia.
Baca Juga: Dr H Abustan: Sepekan Ramadan Berlalu
Maka, slogan atau jargon demokrasi sejatinya memang "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" hanya dalam teori ideal di atas kertas dan sangat mulia kedengarannya, tetapi pelaksanaannya amat dusta dan omong kosong.
Apalagi jika mencermati/membandingksn pelaksanaan pemilu yang masih jauh dari Pemilu Luber dan Jurdil.
Hal ini menunjukkan ada proses relasi kuasa yang sesungguhnya mengarah ke fenomena kemunduran politik.
Baca Juga: Abustan: Kasus Rocky Gerung dan Nilai Demokrasi Indonesia
Gejala ini bisa dimaknai sebagai pemburukan kualitas demokrasi yang diakibatkan oleh hilangnya kepekaan dan komitmen untuk menghormati hukum dan keadaban di tengah kemajuan tekhnologi yang serba canggih.
Happy ending pemilu
Karena itu, catatan di atas cukup menggoreskan hati, ketika seluruh inci kehidupan rakyat mengalami gangguan "intervensi" oleh kekuasaan yang pada gilirannya hanya menumbuhkembang keterbelakangan rakyat dari pendidikan politik.
Baca Juga: DR H Abustan: Antiklimaks Putusan Mahkamah Konstitusi
Hal itu bisa dilihat, bagaimana dominasi dan kedigdayaan hasil pemilu pilpres, rakyat harus dicekoki hasil pemilu melalui kemajuan/lompatan tekhnologi yaitu quick count.
Padahal, 15 tahun yang lalu undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilu. Di mana quick count dilarang diumumkan pada saat pemungutan suara pilpres, kecuali hanya boleh diumumkan paling cepat sehari setelah pencoblosan.
Lalu kemudian mengalami perubahan lagi yang membolehkan dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Untuk itu, kekisruhan soal quick count haruslah menjadi catatan perbaikan (reformasi) UU Pemilu ke depan.
Baca Juga: Dr H Abustan: Civil Society Pemilu 2024 yang Lebih Berkualitas
Dengan menggunakan instrumen hukum yang memadai, memaksimalkan fasilitas, sumber daya yang melimpah, dana sangat besar setiap kali pesta demokrasi, maka seharusnya diharapkan ada peningkatan kualitas yang bisa membahagiakan rakyat dalam pelaksanaan pemilu pilpres.
Namun, alih-alih digunakan untuk membahagiakan pemilik kuasa/daulat negara, pemerintah justru lebih menyukseskan kelanjutan kekuasaannya. Akhirnya yang nampak kepermukaan adalah proses relasi kuasa.
Dan, pada titik ini partai pun terjebak pada rencana pragmatis. Akibatnya akan terus menerus terkungkung dalam jerat kekuasaan yang menyesatkan.
Baca Juga: Abustan: Belajar dari Demokrasi Desa?
Aspek lain, juga bisa di tilik pengentalan kondisi ekonomi rakyat "tidak sedang baik-baik saja". Ragam persoalan mengemuka, hal itu bisa dilihat dari tekanan kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Kita tak mendengar partai yang punya nurani untuk menyuarakan suara hati para pedagang kecil di pasar tradisional. Serta berbagai kebutuhan-kebutuhan mendasar dari masyarakat yang perlu disuarakan, sebagai wujud "wajah rakyat kecil".
Karena itu, dilema dan problematik dinamika demokrasi pasca pemilu pilpres ini segera berlalu, kita berharap akhir cerita pemilu pilpres senantiasa dipenuhi jargon serta pesan moral dalam formula happy ending pemilu yang sarat kearifan dan keadaban.
Baca Juga: Abustan: Keprihatinan Kampus Selamatkan Demokrasi
Oleh karena itu, meski situasi sosial budaya masyarakat pasca pemilu dikhawatirkan menemukan titik kulminasi penolakan hasil pemilu dan kegaduhan yang kian memanas.
Namun budaya rembuk bersama dan kearifan para elite bangsa dalam memecahkan konflik sebagai kultur utama khas ala Indonesia dapat menjadi sumber inspirasi yang dapat mengurangi "tensi pendukung" sehingga berbagai ketidakpuasan dapat menjadi happy ending di puncak pasca pemilu.
Semoga awan gelap akan terus berarak menunjukkan keceriaan Nusantara. Sehingga kesadaran untuk Indonesia yang lebih baik: yaitu demokratis, bermartabat dan beretika dapat terwujud.
Baca Juga: Dubes Inggris Dominic Jermey Temui Prabowo Subianto, Ucapkan Selamat atas Kesuksesan Pemilu 2024
Jakarta, 19 Februari 2024 ***