Denny JA, Fernando Botero, dan Lukisan Artificial Intelligence di Mahakam 24 Residence Jakarta
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 06 Juni 2024 08:33 WIB
Rasanya suatu saat ingin saya tuangkan dalam lukisan menggunakan AI seperti Denny JA, dan akan memberikan kesenangan kepada saya seperti diungkapkan oleh Botero.
Menurut saya, Denny JA telah membangkitkan kesadaran baru tentang cara berekspresi, dalam hal ini berkolaborasi dengan AI. Bagi Denny JA melukis bukan soal cat, kuas, dan galeri seni.
Melukis adalah soal kemampuan mengemas keresahan, narasi, cerita, dan sudut pandang seorang pelukis. Jadi, ini bukan soal teknis semata. Juga jiwa dari lukisan itu. Cat dan kanvas adalah salah satu alat saja. Sama dengan Artificial intelligence juga alat.
Sedangkan galeri seni dan museum adalah salah satu media untuk memamerkannya.
Di era sekarang ini, tempat untuk memamerkan karya seni bahkan lebih luas lagi, seperti di hotel. Atau di aneka media sosial. Rasa senang mengalir ketika kita berkarya dan memamerkan karya itu, di mana pun media yang dipakai.
Di sini saya teringat pada Botero tadi. Saya pertama kali jatuh hati pada karya Botero yang khas, yaitu proporsi tubuh dan bentuk yang bervolume saat melihat langsung karya-karyanya di Museo Botero di kawasan La Candelaria, di jantung Kota Bogota, Kolombia tahun 2015 silam.
Waktu itu saya sedang mengikuti short course di Universidad Externado de Colombia melalui program ELE Focalae atau Foreign Language Focalae initiative.
Seperti saya sebut di atas, saya juga tertarik pada Botero tentang sudut pandangnya tentang lukisan yang tidak umum.
Dia mempunyai kutipan yang terkenal: “art was created to give a pleasure”.
Banyak seniman yang tidak setuju dengan pandangannya. Tidak heran dia dihujani kritik bertubi-tubi. Dalam wawancara dengan The New York Times, beberapa bulan sebelum ia wafat di akhir 2023 lalu, Botero ditanyakan kembali soal sikapnya mengenai karya seni.