Alvian Fachrurrozi: Kejawen Modernis
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 08 Agustus 2022 08:25 WIB
Seperti varian Muhammadiyah (ormas terbesar yang mewakili Islam Modernis) dan varian NU (ormas terbesar yang mewakili Islam Tradisional) di dalam lingkup kalangan Santri/Islam.
Bagi kalangan Islam Tradisional tentu akan merasa jengah melihat kelompok Islam Modernis yang mengganut prinsip egaliterisme Barat yang lalu tidak sudi menghormati seseorang hanya karena nasab/darah keturunan.
Mereka hanya bersedia menghormati seseorang atas dasar moralitas, ilmu, prestasi, atau jasa-jasa kebaikannya.
Baca Juga: Ngaji Gus Baha: Kesalahan Dalam Niat Sholat dan Sujud yang Sering Tak Disadari
Maka jangan heran bentuk-bentuk feodalisme religius seperti "pengkultusan pada manusia" yang ditunjukkan pada para Habib dan para anak turun kyai (Gus/Lora) hanya akan berlaku di kalangan Islam Tradisional seperti Islam Syiah, Nahdlatul Ulama (NU), PERTI, Nadhlatul Wathan (NW).
Ini tidak akan berlaku di kalangan Islam Modernis (yang telah terinjeksi nilai-nilai liberal Revolusi Prancis yang bersanad dari ulama reformis Mesir, Rasyid Ridha) seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad.
Saya selamanya tetap ingat akan satu wejangan keren tentang sikap "anti mental feodal" yang diberikan oleh guru saya di sekolah Muhammadiyah dulu:"Laisal fata man yaqulu hadza aba walakinnal fata man yaqulu ha ana dza".
Seorang pemuda itu bukanlah yang mengatakan ini bapakku atau kakekku, tapi inilah diriku sendiri.
Baca Juga: Hasil Liga 1: Bhayangkara FC Menang Tipis, Persebaya Surabaya Turun Peringkat
Di kalangan Islam Tradisional, perguruan-perguruan Tarekat bertumbuh dengan subur dan para pendiri/mursyid Tarekat sangat begitu dikultuskan, sampai-sampai pakaiannya, bekas air minumnya, bahkan rontokkan rambutnya dianggap sangat suci dan membawa berkah spiritual.