Perkosaan Massal di Kerusuhan Mei 98 Jakarta dalam Puisi Esai Denny JA, DARI SEJARAH YANG DILUPAKAN
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 09 Desember 2022 07:33 WIB
Puisi esai tersebut menceritakan seorang perempuan Tionghoa yang diperkosa ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, yang mengiringi mundurnya Suharto sebagai Presiden RI.
Puisi esai ini adalah recalling memory suara perempuan korban kekerasan, yang mempunyai arti transformatif dari pengalaman pribadi untuk menciptakan kesadaran kolektif dan ruang bersama yang berpegang pada hati nurani dan kejujuran.
Pemerkosaan Mei 1998: Alat Teror untuk Penundukan dan Meredam Gejolak Politik.
Perkosaan terhadap sejumlah perempuan etnis Tionghoa pada bulan Mei 1998 bukanlah bentuk pemerkosaan yang selama ini dipahami masyarakat—didorong oleh nafsu dan bertujuan memuaskan libido.
Pola pemerkosaan seperti ini jauh lebih mengerikan dibanding pola pemerkosaan pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari metode dan alat yang digunakan tidak lazim untuk merusak vagina korban.
Biasanya pelaku bergerak dalam kelompok dan melakukan perkosaan disertai dengan penganiayaan dan pembunuhan.
Tindakan seperti itu biasa dilakukan sebagai bentuk teror. Teror yang menggunakan tubuh dan seksualitas perempuan sebagai alat politik untuk menundukkan lawan baik individu maupun komunitas.
Perilaku teror yang menggunakan tubuh dan seksualitas perempuan ini adalah perilaku dari pandangan misoginis dan patriarkis maskulin, yang menempatkan perempuan sebagai milik dari laki-laki dan penggunaan kekerasan sebagai alat untuk menjawab konflik.
Mengapa tubuh perempuan? Karena tubuh perempuan dalam sistem budaya patriarki adalah “simbol” dari reproduksi sosial dan budaya, “milik” komunitas, etnik dan keluarga, sebagai penanda kehormatan dan martabat suatu komunitas. Sehingga, nilai dan martabat suatu kelompok ditentukan oleh kepemilikan dan penguasaannya terhadap tubuh perempuan itu.
Oleh sebab itu serangan terhadap perempuan tidak semata-mata ditujukan untuk melukai dan menghancurkan perempuan. Tetapi dirancang untuk menyerang kehormatan dan martabat kelompok lawan, yang akan menentukan reaksi balik dari kelompok yang diserang.