DECEMBER 9, 2022
Buku

Resensi Buku Collapse (2005): How Societies Choose to Fail or Succeed Karya Jared Diamond

image
Sumber gambar: tokopedia.com

ORBITINDONESIA.COM- Buku Collapse: Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed karya Jared Diamond yang terbit pada 2005, lalu diperbarui pada 2011. Buku ini merupakan kelanjutan dari pembahasa buku sebelumnya Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies. 

Buku ini merupakan salah satu buku berpengaruh di dunia kontemporer di Abad 21 ini dan layak dibaca bagi siapa pun yang ingin mengetahui dunia kita hari ini.

Ketika Peradaban Runtuh Bukan Karena Musuh, Tapi Dirinya Sendiri.

Baca Juga: Resensi Buku Age of Empire: 1875–1914: Sihir Kekuasaan dan Darah Koloni

dengan lanskap luka. Ia mengajak kita bertanya: bagaimana mungkin masyarakat yang cukup canggih untuk memahat dan mengangkut monumen sebesar itu, akhirnya punah di pulau kecil yang tandus?

Diamond tidak mencari jawabannya dalam invasi, perang, atau wabah dari luar. Ia menunjuk ke dalam: eksploitasi sumber daya, kebutaan kolektif terhadap krisis ekologis, dan ketidakmampuan untuk berubah.

Collapse bukan buku tentang kiamat global, tapi tentang bagaimana masyarakat bisa merusak dirinya sendiri secara perlahan namun pasti. Ini adalah kisah tentang kesombongan, kebutaan, dan keputusan-keputusan yang diambil—atau dihindari—oleh komunitas manusia di puncak kejayaannya.

Baca Juga: Resensi Buku Bayangan yang Tumbuh dari Revolusi: Membaca The New Class (1957) Karya Milovan Djilas

Dalam Guns, Germs, and Steel, Diamond menjelaskan bagaimana peradaban bisa unggul karena letak geografis dan keberuntungan ekologis. Tapi dalam Collapse, ia membalik cermin: bagaimana bahkan masyarakat yang paling unggul bisa runtuh karena tak mampu menjawab tantangan ekologis yang ditimbulkannya sendiri.

Diamond membawa kita dari Pulau Paskah ke peradaban Maya, dari bangsa Anasazi di barat daya Amerika hingga bangsa Viking di Greenland. Dalam setiap kasus, ia memetakan pola berulang: lingkungan yang terdegradasi, populasi yang melampaui daya dukung, perubahan iklim, hubungan dagang yang terputus.

Serta yang paling menentukan—ketidakmampuan elite untuk mengambil keputusan jangka panjang meski keputusan itu tidak populer.

Baca Juga: Resensi Buku Guns, Germs, and Steel: Menyingkap Peta Kemenangan dan Membaca Ulang Guns, Germs, and Steel (1997)

Yang menghantui dari semua ini adalah kesamaannya dengan dunia modern. Diamond tidak menulis untuk para arkeolog, tapi untuk masyarakat kontemporer yang hidup di bawah bayang-bayang krisis iklim, eksploitasi global, dan runtuhnya ekosistem.

Pilihan Ada, Tapi Tidak Selalu Diambil

Judul panjang buku ini mengandung kata-kata yang sering diabaikan: How Societies Choose to Fail or Succeed. Kata “choose”—memilih—bukan sekadar hiasan. Bagi Diamond, keruntuhan bukan nasib buta. Ia adalah hasil akumulasi pilihan: antara melestarikan atau menguras, antara mereformasi atau mempertahankan kemapanan, antara mendengar suara lingkungan atau menutup telinga demi keuntungan jangka pendek.

Bangsa Viking di Greenland menjadi studi kasus yang menggigit. Mereka membangun masyarakat agraris Eropa mini di tanah beku yang tidak ramah. Alih-alih menyesuaikan diri dengan praktik masyarakat Inuit yang lokal dan tangguh, mereka tetap mempertahankan gaya hidup yang tidak cocok.

Mereka tidak memakan ikan—padahal ikan melimpah—karena dianggap tidak sesuai budaya. Akhirnya, mereka musnah perlahan dalam kebekuan yang keras kepala. Bukan karena kekurangan teknologi, tetapi karena keengganan untuk mengubah cara hidup.

Dalam setiap contoh, Diamond tidak hanya menunjukkan bahwa keruntuhan itu mungkin, tapi juga bahwa ia “terlihat jauh sebelum datang.” Para pemimpin masyarakat kuno sering kali tahu mereka menghadapi krisis. Tapi perubahan berarti mengguncang kekuasaan, status, dan ideologi. Maka lebih mudah untuk menyangkal, mengalihkan, atau menunda. Dan ketika akhirnya tindakan diambil, sering kali sudah terlambat.

Buku ini terasa sangat politis justru karena tidak berbicara tentang politik secara langsung. Ia tidak menyebut nama pemimpin kontemporer, tapi menggambarkan pola-pola yang terasa sangat akrab: pertumbuhan tak terkendali, konflik kepentingan, kebijakan jangka pendek, dan masyarakat yang terlalu sibuk untuk memperhatikan keretakan di fondasinya sendiri.

Diamond memberi kita struktur lima faktor yang berkontribusi terhadap keruntuhan suatu masyarakat: kerusakan lingkungan, perubahan iklim, hubungan dengan tetangga, hubungan perdagangan, dan bagaimana masyarakat merespons tantangan itu. Tapi struktur itu bukan hanya kerangka analisis. Ia adalah peringatan dini bagi kita yang hidup di tengah krisis global yang terus kita normalisasi.

Kita Adalah Pulau Paskah yang Lebih Besar

Banyak pembaca Collapse menutup bukunya dengan rasa ngeri yang tenang. Bukan karena gaya Diamond yang apokaliptik—justru karena dia tidak menulis dengan gaya kiamat. Ia menulis dengan kesabaran seorang dokter: mendiagnosis, menjelaskan, dan memberi pilihan. Dunia tidak harus runtuh. Kita masih punya peluang. Tapi peluang itu mengecil setiap kali kita memilih untuk tidak bertindak.

Yang membedakan Collapse dari karya-karya lain tentang kehancuran adalah bahwa Diamond juga menunjukkan contoh-contoh masyarakat yang berhasil bertahan. Seperti di pulau Tikopia di Pasifik, di mana masyarakat kecil mampu mempertahankan keseimbangan ekologis selama lebih dari 3.000 tahun.

Mereka membatasi kelahiran, mengelola lahan dengan cermat, dan bahkan mengambil keputusan radikal untuk memusnahkan populasi babi karena terlalu boros energi. Itu bukan tindakan irasional, melainkan bentuk rasionalitas kolektif yang langka: memilih keberlanjutan di atas kenyamanan.

Dengan itu, Collapse juga adalah buku harapan. Ia tidak menutup pintu. Tapi harapan di sini bukanlah optimisme kosong. Ia adalah tantangan: beranikah kita memilih jalan sulit untuk masa depan yang layak? Ataukah kita akan menjadi peradaban yang hanya meninggalkan jejak beton dan data karbon?

Membaca Diamond hari ini, ketika dunia terjebak dalam krisis iklim, air, pangan, dan energi, terasa seperti membaca prolog dari drama yang belum rampung. Tapi kita bukan hanya penonton. Kita bagian dari cerita itu. Dan, seperti yang ditulisnya: “The choice is ours, not only as individuals, but as societies.”

Penutup

Yang paling mendalam dari Collapse adalah bahwa ia tidak mengajarkan kita untuk takut akan keruntuhan, tetapi untuk mengenali tanda-tandanya sebelum terlambat. Ia mengajarkan bahwa peradaban bukanlah sesuatu yang permanen.

Semua bisa hilang. Bukan dengan ledakan besar, tapi dengan kelelahan yang lambat, dengan ketidakpedulian kolektif yang konstan, dan dengan keputusan-keputusan kecil yang tampak sepele—tapi diakumulasikan dalam sejarah.

Jika Guns, Germs, and Steel adalah kisah bagaimana peradaban naik ke panggung dunia karena keberuntungan ekologis, maka Collapse adalah cerita tentang bagaimana peradaban-peradaban itu menyingkirkan dirinya sendiri dari panggung—dengan tangan mereka sendiri.***

Halaman:

Berita Terkait