DECEMBER 9, 2022
Buku

Resensi Buku Bayangan yang Tumbuh dari Revolusi: Membaca The New Class (1957) Karya Milovan Djilas

image
Sumber Buku: https://www.amazon.com/NEW-CLASS-Milovan-Djilas/dp/B007DWJCN4

Tidak Menghapuskan Kelas, Malahan Menciptakan Kelas Baru.

Ada sesuatu yang mengerikan dalam cara Djilas menggambarkan kelas baru ini: mereka bukan predator yang tampak jahat. Mereka tidak hidup seperti raja atau industrialis zaman feodal. Justru karena mereka mengklaim berasal dari rakyat, mereka menyaru dalam bahasa kerakyatan, menutupi dominasi dengan retorika pengorbanan.

Tapi di balik pidato-pidato tentang perjuangan dan kesetaraan, mereka menikmati privilese: rumah dinas, mobil dinas, akses eksklusif ke pendidikan dan kesehatan, bahkan hak untuk menentukan siapa yang layak berbicara dan siapa yang layak dilenyapkan dari sejarah.

Buku ini menggelitik imajinasi kita karena ia tidak berhenti sebagai kritik atas komunisme. Ia bergerak lebih jauh: menjadi cermin untuk segala sistem kekuasaan. Bacalah The New Class hari ini di tengah demokrasi elektoral yang katanya bebas, dan kita akan terkejut betapa familier deskripsi Djilas itu.

Baca Juga: Resensi Buku Kebangkitan Syiah: Islam, Konflik, dan Masa Depan

Bukankah kita mengenal para elit yang lahir dari “partai rakyat” tapi kemudian hidup dalam pagar tinggi dan tidak bisa lagi mendengar jeritan jalanan? Bukankah jargon tentang “keadilan sosial” sering menjadi mantera yang menghipnosis, tapi melindungi status quo yang tak tersentuh?

Djilas tidak mengusulkan kudeta baru. Ia tidak menyarankan kembalinya kapitalisme atau sistem liberal. Ia bahkan tidak menawarkan cetak biru alternatif. Justru kejujuran inilah yang membuat bukunya terasa otentik dan menyakitkan: ia hanya memotret dengan setia, tanpa perlu menggiring pembaca pada simpulan tertentu.

Ia hanya menunjukkan, bahwa dalam sistem yang mengklaim dirinya sebagai perwujudan tertinggi dari kesetaraan, terdapat struktur yang tidak kasat mata—hierarki yang tidak disebut kelas, tapi berfungsi layaknya kasta yang memutuskan siapa boleh naik, siapa tetap di bawah.

Kekecewaan Djilas atas Ideologi yang Diperjuangkannya dan Keterasingannya Sendiri. 

Apa yang paling menghantui dari buku ini adalah narasi tentang keterasingan. Dalam dunia yang dikontrol oleh kelas baru, rakyat tidak hanya kehilangan kekuasaan, tetapi juga kehilangan bahasa untuk menamai penderitaannya. Karena semua dilakukan “atas nama mereka,” maka tidak ada ruang untuk oposisi.

Baca Juga: Resensi Buku Age of Empire: 1875–1914: Sihir Kekuasaan dan Darah Koloni

Kritik dianggap sabotase. Keraguan dianggap pengkhianatan. Maka manusia menjadi bisu dalam keterpaksaan. Mereka bekerja untuk negara, tapi negara bukan lagi mereka. Negara adalah wajah kolektif dari para birokrat yang telah menjelma menjadi dewa-dewa kecil, tak terjangkau, tak tergugat.

Kita mungkin mengira bahwa Djilas hanya bicara tentang Yugoslavia atau Stalinisme. Tapi sesungguhnya, ia sedang bicara tentang psikologi kekuasaan itu sendiri: bagaimana idealisme berubah menjadi alat dominasi, bagaimana orang-orang yang dahulu memproklamasikan revolusi perlahan berubah menjadi pelindung status quo, dan bagaimana kekuasaan, jika tak terus diawasi, akan menemukan bentuk baru untuk mempertahankan dirinya, bahkan dalam sistem yang paling revolusioner sekalipun.

Salah satu bagian paling menggetarkan adalah ketika Djilas menyatakan bahwa kelas baru ini tidak akan bisa direformasi dari dalam, karena keberadaan mereka sendiri adalah hasil logis dari struktur sistem. Dengan kata lain, Anda tidak bisa menghapus kasta birokrat tanpa merombak total cara kita memahami kekuasaan dan representasi.

Baca Juga: Resensi Buku Harus Bisa!: Membaca SBY, Mengupas Kekuasaan dengan Senyum dan Strategi

Kritik Djilas bukanlah sekadar koreksi manajerial—ini adalah gugatan moral terhadap seluruh premis sistem satu partai, dan bahkan terhadap ilusi bahwa negara bisa bertindak mewakili “kelas” secara sempurna.

Halaman:

Berita Terkait