Resensi Buku Bayangan yang Tumbuh dari Revolusi: Membaca The New Class (1957) Karya Milovan Djilas
- Penulis : Irsyad Mohammad
- Senin, 04 Agustus 2025 16:45 WIB

Djilas menulis The New Class dengan ketenangan yang ironis. Tidak ada kemarahan meluap, tidak ada agitasi. Justru dalam ketenangan itu kita merasakan kekuatan kata-katanya. Ia seperti orang yang telah menyaksikan rumahnya sendiri terbakar—bukan oleh musuh, tapi oleh tangan saudaranya sendiri. Ia tidak menjerit. Ia hanya menunjuk ke api dan berkata: “Inilah harga dari kebutaan kita.”
Setelah membaca The New Class, kita tidak bisa lagi melihat konsep revolusi dengan naif. Kita tidak bisa lagi percaya begitu saja bahwa perubahan struktural pasti menghasilkan masyarakat yang adil. Karena sejarah, sebagaimana Djilas tunjukkan, terlalu sering memperlihatkan bahwa struktur baru hanya akan dihuni oleh elite baru yang lebih canggih dalam menyamarkan dominasinya.
Di titik itulah, mungkin, buku ini mencapai kekuatan filosofisnya: sebagai refleksi tentang watak manusia dalam kekuasaan. Betapa mudahnya manusia merasionalisasi dominasi jika ia merasa sedang melayani tujuan mulia. Betapa cepatnya idealisme berubah menjadi justifikasi bagi kenyamanan pribadi.
Baca Juga: Resensi Buku Kebangkitan Syiah: Islam, Konflik, dan Masa Depan
Penutup
Milovan Djilas dihukum oleh negaranya bukan karena ia mengangkat senjata, tetapi karena ia mengangkat kata-kata. Dan mungkin itulah yang paling ditakuti oleh kelas baru di mana pun mereka berada: seseorang dari dalam, yang menolak berbohong atas nama ideologi, dan memilih membayar harga penuh demi kejujuran.
Kini, lebih dari setengah abad sejak buku ini terbit, kita hidup di era baru. Tapi bayangan kelas baru Djilas masih menghantui dalam bentuk lain: teknokrat, oligark, influencer politik, pejabat meritokratik, dan bahkan dalam organisasi yang katanya nirlaba tapi beroperasi seperti korporasi. Semua mengklaim melayani publik. Tapi siapa yang mengevaluasi mereka? Siapa yang menyuarakan mereka yang tak lagi memiliki suara?
Barangkali, itulah warisan terbesar Djilas: mengingatkan kita bahwa revolusi tanpa pengawasan rakyat akan selalu melahirkan istana baru. Dan istana, betapapun indahnya dibangun atas nama rakyat, akan tetap menjadi istana—yang didiami bukan oleh rakyat, tapi oleh bayangan-bayangan baru kekuasaan.***
Baca Juga: Resensi Buku Age of Empire: 1875–1914: Sihir Kekuasaan dan Darah Koloni