Survei ISDS - Litbang Kompas: ASEAN dan Rusia Bisa Jadi Mitra Indonesia Perkuat Kedaulatan Negara
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Jumat, 18 Juli 2025 02:22 WIB

ORBITINDONESIA.COM – Ada sejumlah negara yang dinilai menjadi ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Untuk menjaganya, ASEAN dan Rusia bisa menjadi negara mitra untuk memperkuat kedaulatan wilayah Indonesia dalam menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian.
Keberadaan Rusia ini cukup mengejutkan karena Negeri Beruang Merah tersebut secara geopolitik berada jauh dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hasil survei persepsi masyarakat Indonesia terkait ‘’Kedaulatan Negara di Laut China Selatan’’ yang diadakan oleh Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bekerja sama Litbang Kompas menyebut bahwa Rusia menjadi alternatif kedua setelah negara-negara ASEAN sebagai negara yang perlu digandeng ketika Indonesia menghadapi ancaman kedaulatan dalam konflik Laut China Selatan.
Baca Juga: Presiden Prabowo Subianto Berterima Kasih ke Rusia yang Dukung Indonesia Dalam BRISC
Co-founder ISDS Erik Purnama Putra menganggap, munculnya nama Rusia sebagai negara nomor dua dalam pilihan responden survei 2025 memang mengejutkan. Hal itu karena dalam survei 2024, Rusia jauh di posisi lima atau enam dalam daftar negara pilihan responden.
"Setelah kami diskusi dan mengikuti metode penelitian hasil wawancara responden memang mereka menganggap Rusia ini sebagai kekuatan global yang bisa digandeng Indonesia. Apalagi, selama ini, hubungan Indonesia dan Rusia tidak ada masalah sama sekali," kata Erik dalam webinar bertema ‘’Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut China Selatan’’ sekaligus merilis hasil survei kedaulatan bersama Litbang Kompas di Jakarta pada Kamis, 17 Juli 2025.
Dalam survei tersebut, disebutkan ketika responden ditanya negara mana yang dapat bermitra dengan Indonesia untuk memperkuat kedaulatan wilayah Indonesia di Laut China Selatan, mayoritas menjawab ASEAN dengan jumlah 41,4 persen.
Baca Juga: Dubes Rusia Vassily Nebenzia: AS Telah Membuka 'Kotak Pandora' dengan Serangan ke Iran
Sedangkan Rusia mendapatkan dukungan responden sebanyak 19,6 persen. Kemudian, berturut-turut, negara yang perlu digandeng oleh Indonesia yakni Amerika Serikat (17,4 persen), China (11,9 persen), Jepang (9,2 persen), Australia (4,8 persen), Korea Selatan (3,8 persen), Uni Eropa (3,2 persen) dan lainnya hanya 1 persen. Sisanya 7,7 persen responden menjawab tidak tahu.
Adapun, di antara negara ASEAN yang harus dirangkul oleh Indonesia adalah Malaysia (52,3 persen), kemudian disusul Singapura (29,4 persen), Brunei Darussalam (6,6 persen) dan Filipina (5 persen).
Menurut Erik, pilihan Rusia di atas Australia, Jepang, atau Korea Selatan yang secara geografis lebih dekat dengan Indonesia, juga menandakan informasi tentang Rusia banyak diakses masyarakat Indonesia. Apalagi, sudah diketahui publik, video Presiden Rusia Vladimir Putin yang berteriak "Uraaa!" di hadapan prajurit sangat viral di Indonesia.
Baca Juga: China Tidak Dapat Menerima Kekalahan Rusia dalam Perang Melawan Ukraina
Berbagai kanal Tiktok dan media sosial lain berulang kali memutar video Putin tersebut. "Nah, bisa jadi itu salah satu pertimbangan responden menjadikan Rusia sebagai negara alternatif yang dapat digandeng Indonesia dalam merespons isu Laut China Selatan. Apalagi dengan Indonesia gabung BRICS maka hubungan kedua negara juga semakin dekat," ujar Erik.
Peneliti Litbang Kompas, Dimas Okto Danamasi menambahkan adanya konflik Rusia dan Ukraina bisa saja menjadi tanda bagi masyarakat Indonesia bahwa ada Rusia sebagai kekuatan alternatif selain AS dan China.
‘’Publik itu seperti ingin punya antitesa selain AS dan China. Kekuatan alternatif. Yang preferable yang mana buat mereka adalah Rusia itu bisa menghadapi Ukraina yang didukung oleh Amerika Serikat. Di mana, China kan nggak berani masuk ikut campur dalam perang tersebut, sehingga Rusia ini adalah kekuatan di gepolitik dunia sehingga mereka merasa kalau kerja sama dengan Rusia akan bagus untuk Indonesia,’’ jelasnya.
Baca Juga: Menlu Sergey Lavrov: Rusia dan AS Berkomitmen Temukan Solusi Damai untuk Situasi Konflik
Jadi tidak hanya memperkuat posisi Indonesia terhadap China tapi Indonesia terhadap AS juga. Karena masyarakat menyadari kekuatan hegemoni AS meski tidak langsung ke Indonesia.
“Yang jelas, masyarakat Indonesia ingin ada pemain baru nggak hanya AS dan China saja. Ada kekuatan alternatif ketiga (Rusia), yang menguntungkan bagi Indonesia,’’ jelasnya.
Di samping itu, bergabungnya Indonesia dengan BRICS juga menjadi salah satu penyebabnya. Sehingga awareness masyarakat Indonesia terhadap Rusia bertambah kuat yang selama ini lebih banyak tahu dari film Hollywood sebagai aktor yang selalu diposisikan sebagai ‘negara jahat’’.
Baca Juga: Korea Utara Memasok Rusia dengan 12 Juta Peluru Artileri Dalam Perang Melawan Ukraina
Ketika ditanyakan kerja sama apa yang harus dilakukan dengan negara-negara ASEAN, mayoritas responden menjawab membuat aliansi pertahanan (36,1 persen).
Kemudian disusul latihan bersama (35,1 persen), pengembangan industri pertahanan (30,6 persen), pengembangan untuk perwira TNI (27 persen), kerja sama penelitian dan teknologi (26,5 persen), dan bantuan teknologi (22,9 persen) dan lainnya. ‘’Kalau kata mereka kalau hanya Kerjasama teknologi saja kurang, harus ada aliansi pertahanan,’’ paparnya.
Adapun, China juga dianggap menjadi ancaman bagi ASEAN maupun Indonesia dalam konflik Laut China Selatan dalam kisaran 76 persen. Sebagian responden, kisaran 15 persen, yang menganggap kehadiran China di Laut China Selatan sebagai keuntungan.
Baca Juga: Trump Terus Menekan, Rusia Terancam Tarif 100 Persen AS Jika Konflik Ukraina Berlanjut
‘’Kehadiran China ini ada yang melihat sebagai ancaman, ada juga yang melihat sebagai keuntungan. Di ASEAN lebih kecil 15,4 persen, bagi Indonesia keuntungannya lebih besar 17,2 persen,’’ kata Peneliti Litbang Kompas, Dimas Okto Danamasi. Yang menarik, mayoritas responden yang melihat China sebagai keuntungan bukan ancaman adalah kaum Gen Y (51,7 persen), sedangkan kaum baby boomer hanya 6 persen.
Pada tema isu dan negara, negara yang paling menjadi ancaman bagi Indonesia adalah China dengan responden 37,2 persen, disusul AS (32,5 persen), Rusia (5,2 persen), ASEAN (5,1 persen), Uni Eropa (3,7 persen), Australia (3,2 persen), Jepang (2,6 persen), dan lainnya.
‘’Dua negara yang dianggap ancaman terkait wilayah bagi Indonesia ada dua, China dan AS. Yang lain prosentasenya kecil,’’ jelasnya. China dinilai menjadi ancaman karena memang sering bersentuhan langsung dengan Indonesia terutama di Laut Natuna Utara.
Baca Juga: Sekjen NATO Mark Rutte Berharap China, India, Brasil Menekan Rusia Terkait Tarif Trump
AS dinilai menjadi ancaman pada politik dan ekonomi karena sering mendominasi. ‘’Masyarakat melihat AS memang tidak mengancam secara wilayah tapi secara ekonomi dan politik tetap mempengaruhi kondisi kedaulatan Indonesia,’’ tambah Dimas.
Ketegangan geopolitik di Laut China Selatan atau Laut Natuna Utara menjadi isu utama dalam studi kedaulatan Indonesia. Tujuan survei untuk mengetahui pandangan publik terkait isu kedaulatan negara, awareness, source of information, dan anxiety & desire public terhadap isu kedaulatan negara.
Jajak pendapat ini menggunakan teknik sampling simple random sampling dari database Litbang Kompas. Menggunakan instrumen kuesioner, proporsi responden pria wanita 50-50 dengan range usia 17-60 tahun. Dengan margin of error +-5,4%, survey dilakukan terhadap 321 responden yang tersebar di lima wilayah, yaitu Medan, DKI Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.
Baca Juga: Kepala BNN Marthinus Hukom Ungkap WNA Rusia-Ukraina di Bali Jadi Partner Kejahatan Narkotika
Webinar ini diikuti lebih dari 100 peserta dari berbagai kalangan, di antaranya dari mahasiswa, aktivis, TNI, pemerhati isu pertahanan dan awak media. Selengkapnya, rekaman webinar tentang Survey Kedaulatan ini dapat disimak di YouTube Channel @isdsindonesia.
Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) adalah sebuah kelompok studi (think tank) yang terdiri dari para ahli dan jurnalis yang berfokus pada bidang pertahanan dan isu-isu strategis.
ISDS adalah sebuah organisasi nirlaba yang berdiri pada tahun 2022 dan juga aktif menerbitkan buku serta mendiseminasikan informasi melalui seminar (baik secara terbuka maupun tertutup) dan juga kompetisi opini publik. ***