Ketika Kepercayaan Publik kepada Kejaksaan Agung Melampaui KPK dan Polri
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 05 Juli 2025 13:04 WIB

Podcast LSI Denny JA (2), SUARA ANGKA, Berdasarkan Survei Nasional
ORBITINDONESIA.COM - April 2023, sebuah operasi besar mengejutkan publik Indonesia. Kejaksaan Agung menetapkan Sekjen Partai NasDem, Johnny G Plate, sebagai tersangka korupsi proyek BTS Kominfo.
Nilai kerugiannya: lebih dari Rp 8 triliun. Yang mencengangkan bukan hanya angka fantastisnya, tapi keberanian Kejaksaan menyentuh tokoh dari partai penguasa kala itu.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra
Tak berhenti di sana, kasus Duta Palma dengan kerugian negara Rp 78 triliun pun diungkap. Bahkan korupsi tambang timah di Bangka Belitung—dengan estimasi kerugian hingga Rp 271 triliun—kini tengah ditangani Kejaksaan.
Kejaksaan Agung kini diperkuat. Presiden Prabowo memberi dukungan institusional tambahan demi mendukung semangat pemberantasan korupsi.
Bahkan, Kejaksaan kini didampingi—dan dalam beberapa konteks, “dilindungi”—oleh institusi kuat seperti POLRI dan TNI dalam pengamanan teknis maupun politik.
Baca Juga: In Memoriam Setyadarma Pelawi, Puisi Dari Denny JA: Kemana Perginya Para Aktivis
Publik pun menanti: seberapa jauh Kejaksaan akan mampu memberdayakan momentum ini?
Apalagi, berdasarkan survei nasional LSI Denny JA bulan Juni 2025, yang disampaikan lewat Podcast Suara Angka, tingkat kepercayaan publik kepada Kejaksaan Agung kini melampaui KPK dan Polri.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Minyak dan Takhta Zaman, Ketika Dunia Digerakkan Oleh Hitamnya Energi
Demikianlah salah satu temuan utama Podcast LSI Denny JA “Suara Angka” yang dirilis awal Juli 2025. Podcast ini menghadirkan Adjie Alfarabie dan Ardian Sopa, bersama host Ade Bondon, tiga peneliti senior LSI Denny JA.
Berdasarkan hasil survei nasional Juni 2025, tiga temuan utama mencuat dan mencengangkan:
1. Kejaksaan Agung Menyalip KPK dan POLRI
Baca Juga: Catatan Denny JA: Einstein Mengenakan Batik dan Kisah Salvador Dali
Untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, Kejaksaan Agung dinobatkan sebagai lembaga penegak hukum yang paling dipercaya oleh rakyat Indonesia.
Tingkat kepercayaan publik mencapai 61%—melampaui KPK (60%) dan POLRI (54,3%). Ini bukan semata angka statistik, melainkan cerminan psikologis kolektif masyarakat terhadap siapa yang dianggap benar-benar bekerja memberantas korupsi.
KPK, yang dahulu dielu-elukan sebagai lembaga luar biasa, kini terjerembab dalam stagnasi. Revisi UU KPK tahun 2019 menjadikannya seperti macan ompong: kehilangan taring dan keberanian.
Baca Juga: Sejarah Indonesia dan Dunia yang Berdenyut dalam Tujuh Puisi Esai Denny JA
Sementara POLRI masih dililit repetisi kampanye negatif pihak lain sebagai “Partai Cokelat” akibat tuduhan ketidaknetralan dalam Pilpres dan Pilkada 2024.
Sebaliknya, Kejaksaan menempuh jalur berani: menyentuh elite kekuasaan, membongkar mega korupsi, dan menahan tokoh besar yang sebelumnya dianggap tak tersentuh.
Di tengah keputusasaan kolektif, Kejaksaan tampil sebagai figur baru dalam narasi keadilan bangsa. Bukan tanpa cela, tetapi dengan keberanian yang kembali membangkitkan harapan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Darah Negara Minyak
-000-
2. Era “No Viral, No Justice” Telah Tiba
Ungkapan “No Viral, No Justice” kini bukan sekadar sindiran, tapi kenyataan pahit yang kita hadapi. Penegakan hukum acapkali dinilai tak lagi bergerak karena asas keadilan murni, melainkan karena tekanan sorotan media sosial.
Baca Juga: Denny JA Merekam Luka Sejarah Dalam Tujuh Buku Puisi Esai
Jika sebuah kasus tidak trending di X (Twitter), tak viral di TikTok, atau tak dikomentari para influencer, maka besar kemungkinan akan diabaikan.
Fenomena ini tak sepenuhnya benar, tapi menelanjangi kelemahan institusi hukum dalam merespons jeritan sunyi rakyat.
Namun di sisi lain, publik kini memiliki senjata: algoritma. Netizen bukan lagi sekadar penonton, tapi aktor kolektif dalam mendesak keadilan.
Tapi bahaya besar mengintai: jika hukum hanya bereaksi terhadap sensasi, bukan substansi, maka negara akan kehilangan ruhnya sebagai penjaga keadilan universal.
Ketika itu terjadi, keadilan bukan lagi hak warga, melainkan privilese mereka yang viral.
-000-
3. Prabowo Dianggap Kuat, Tapi Lembaga Hukumnya Belum Mengimbangi
Presiden Prabowo memulai pemerintahannya dengan angka kepuasan yang tinggi: karismanya kuat, narasi besar tentang kedaulatan nasional mendapat dukungan luas.
Namun, legitimasi lembaga-lembaga penegak hukum justru tidak ikut menguat. Terjadi jurang antara simbol negara dan instrumen negara.
Dalam demokrasi modern, mandat elektoral tidak cukup. Diperlukan pilar hukum yang dipercaya publik untuk menjalankan visi presiden secara efektif dan bermartabat.
Jika kepercayaan terhadap aparat hukum rendah, maka pelaksanaan keadilan akan cacat sejak dalam sistem.
Dan jika tidak segera dibenahi, Prabowo hanya akan menjadi komando tanpa pasukan—kuat di puncak, tapi rapuh di akar.
Maka, pembenahan aparat hukum bukan sekadar reformasi teknis, melainkan ujian pertama atas janji Presiden bahwa hukum akan menjadi panglima, bukan pelayan kekuasaan.
-000-
Mengapa Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Hukum Harus Ditingkatkan?
Kepercayaan publik bukan hanya angka. Ia adalah fondasi legitimasi. Tanpa kepercayaan, hukum hanyalah simbol kosong—dipatuhi karena takut, bukan karena percaya.
Bahkan tingkat kepatuhan terhadap hukum pun ikut melemah.
Negara-negara seperti Norwegia dan Finlandia menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga hukum di atas 80%. Bandingkan dengan di negara kita kini, yang semuanya di bawah 65%.
Sebab rakyat yang percaya pada hukum akan taat bukan karena diawasi, melainkan karena merasa dilindungi.
Rekomendasi:
• Penataan ulang sistem rekrutmen dan promosi berbasis merit.
• Pengawasan eksternal independen untuk mencegah impunitas.
• Pendidikan etika dan integritas sebagai kurikulum wajib di sekolah kepolisian hingga ASN.
-000-
Soal No Viral, No Justice: Adaptasi atau Mati
Fenomena ini adalah panggilan reformasi. Di era digital, media sosial menjadi “pengadilan awal” yang tak bisa diabaikan.
Rekomendasi:
• Gunakan kanal resmi lembaga hukum untuk update kasus secara transparan dan berkala.
• Libatkan jurnalis investigatif dan masyarakat sipil sebagai pengawas partisipatif.
• Bangun komunikasi publik yang responsif, bukan sekadar simbolik seperti “polisi bersayap malaikat”.
-000-
Jangan Biarkan Trust kepada Presiden Tak Diimbangi di Lini Eksekusi
Jika kepercayaan publik kepada Presiden tinggi, maka trust itu harus mengalir ke lembaga-lembaga pelaksana hukum yang menegakkan mandatnya.
Jika tidak, Prabowo hanya akan menjadi “komando tanpa pasukan”—kuat dalam gagasan, tapi lemah dalam eksekusi.
Rekomendasi:
• Presiden perlu memberi sinyal kuat untuk reformasi institusi hukum, termasuk penyegaran lembaga hukum itu.
• Evaluasi kembali UU KPK 2019 yang membatasi independensi dan efektivitas lembaga antikorupsi.
• Pastikan lembaga hukum berdiri di atas prinsip keadilan, bukan loyalitas politik. Prasangka publik soal “tebang pilih” harus ditepis dengan transparansi dan integritas.
-000-
Ada satu isu mendalam yang belum disentuh dalam Podcast Suara Angka, namun menentukan masa depan pemberantasan korupsi: memutus rantai oligarki hukum.
Kasus-kasus besar yang diungkap Kejaksaan—dari BTS Kominfo hingga tambang timah—bukan kebetulan.
Mereka adalah gejala sistemik dari siklus yang berulang: korupsi → penindakan simbolik → impunitas → korupsi baru.
Mata rantai oligarkhi ini yang perlu diputus.
Keadilan, kata sastrawan Yunani kuno Aiskhylos, adalah cahaya yang lahir dari luka. Tapi cahaya itu hanya bertahan jika lentera kepercayaan tak kehabisan minyak.
Hari ini, kita meniup lilin di atas kue ulang tahun lembaga hukum kita, walau kepercayaan publik padanya sedang meredup. Namun, belum terlambat.
Kita hanya perlu satu keputusan: membiarkan lentera itu padam? Atau mengisinya kembali dengan keberanian, reformasi, dan cinta akan keadilan yang merata.
Dan ketika lentera itu kembali menyala, hukum tak perlu menunggu viral untuk bertindak. Ia akan hadir bukan karena teriakan, tapi karena nurani. Karena leadership.***
Podcast LSI Denny JA Suara Angka dapat ditonton melalui tautan ini:
https://youtu.be/7A8dwQFoo6w?si=_ESEWyBQ7olEMxRT
Jakarta, 5 Juli 2025