Catatan Denny JA: Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 30 Juni 2025 08:31 WIB

Bagaimana cara kita mengingat mereka? Apakah cukup dengan monumen batu dan arsip kuno
Tidak.
Sejarah membutuhkan hati untuk bisa diingat.
Baca Juga: Analisis Ekonomi: Penurunan Peringkat Kredit AS Tambah Tekanan pada Ekonomi
Sejak menjadi aktivis mahasiswa dan kolumnis di tahun 1980-an, saya begitu takjub membaca drama manusia dalam sejarah yang terus bergerak. Aneka kisah dramatis sejarah itu kini saya tuangkan dalam puisi esai.
-000-
Ada alasan mengapa sejarah perlu direkam dalam sastra. Kita bisa membaca tentang enam juta korban Holocaust dalam buku sejarah. Namun, apakah itu cukup? (1)
Baca Juga: Catatan Denny JA: Jika Sebuah Nada Diberi Hak
Angka tidak menangis, tidak bergetar, tidak meratap. Tetapi dalam puisi, sejarah menemukan denyutnya kembali.
Dalam puisi esai Kereta Menuju Neraka, kita menyaksikan seorang anak yang kehilangan ibunya di gerbang Auschwitz. Tragedi tidak lagi berupa statistik, tetapi hadir sebagai kehilangan yang begitu nyata:
*“Ibuku menggenggam tanganku,
tapi tangan lain merenggutnya dariku.
Seorang pria berjas putih berdiri di depanku,
seperti dewa tanpa hati.
Satu jentikan jari,
dan dunia berubah.