Catatan Denny JA: Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 30 Juni 2025 08:31 WIB

Jika sejarah adalah kanvas, maka puisi esai adalah goresan warna yang menghidupkannya.
Kita bisa membaca Revolusi Kebudayaan dalam buku akademik, tetapi bagaimana rasanya menjadi seorang penyair yang ditangkap hanya karena menulis?
Dalam Puisi Melawan Mao Zedong, ketakutan merayap di dinding penjara:
Baca Juga: Analisis Ekonomi: Penurunan Peringkat Kredit AS Tambah Tekanan pada Ekonomi
*“Di puncak istananya,
Mao Zedong gusar.
Revolusi itu nyala yang menghanguskan.
Tetapi ia takut api mulai meredup.”
Ia meniup bara dengan cemas,
membakar buku agar dirinya tetap terang.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Jika Sebuah Nada Diberi Hak
Genggamannya melemah.
Bisikan perlawanan mulai tumbuh.
Di antara bait puisi dan pemikiran bebas,
ia mencium aroma pengkhianatan,
dan mengubah tinta menjadi pemberontakan.
Puisi esai ini menggambarkan perlawanan para aktivis dan seniman yang tak berdaya. Tapi spirit perlawanan ini mereka rekam ke dalam puisi:
“Di dinding selnya yang lembap,
dengan darah dari jarinya yang pecah,
ia menulis:
‘Jika dunia membungkam suaraku,
biarkan bayang-bayang menyanyikannya.’”