
Di saat tragedi melanda, sastra menjadi nyala lilin di kegelapan. Ia menyimpan cerita, mengabadikan rasa, dan menumbuhkan harapan.
Sastra adalah jembatan antar zaman dan antar jiwa. Ia menyatukan masa lalu, kini, dan masa depan dalam satu narasi.
Kita tahu cinta abadi dari puisi Rumi dan perjuangan dari syair Chairil Anwar. Sastra menyimpan hikmah yang terus hidup, meski zaman silih berganti.
Dalam dunia pendidikan, sastra bukan sekadar pelajaran Bahasa Indonesia. Ia adalah pelajaran hidup, tentang toleransi, keadilan, dan kasih sayang.
Sastra mengajarkan kita mendengar sebelum menilai, memahami sebelum memutuskan. Dalam narasi tokoh, kita belajar menyelami batin yang berbeda.
Pemimpin besar tak jarang adalah pembaca sastra yang tekun. Karena dari situlah mereka belajar bijak, berempati, dan berimajinasi.
Bung Karno gemar mengutip puisi dalam pidatonya yang menggugah. Ia tahu bahwa logika butuh disandingkan dengan rasa.
Di era digital, sastra tetap relevan dan bahkan semakin penting. Cerita menyentuh hati jauh lebih dalam dibanding angka dan grafik.
Sastra dan ilmu pengetahuan tidak perlu dipertentangkan. Keduanya harus bersinergi demi kemajuan yang berkeadaban.
Teknologi mempercepat langkah, sastra memperdalam jejak. Sains menembus luar angkasa, sastra menembus hati manusia.