DECEMBER 9, 2022
People & Lifestyle

Esther Haluk, Menulis Puisi untuk Keadilan di Papua

image
Foto Esther Haluk

ORBITINDONESIA.COM - “Jika suaramu hanya menghantam tembok tuli, menggesek hati yang membatu karena ketamakan, tikam dan hujamkan belati, dan robek nuraninya dengan penamu."

Sepotong puisi  Esther Haluk dalam buku Nyanyian Sunyi di atas begitu tajam, kuat, dan menggetarkan hati. Esther Haluk adalah perempuan Papua yang memiliki sense of humanity. Melihat kemiskinan, diskriminasi, dan ketidakadilan di tanah Papua, ia terdorong untuk bersuara dan melawan dengan pena dan sastra.

Dalam buku kumpulan puisinya,  Esther ingin menghujam belati dan “merobek nurani” para penguasa yang tak lagi menggunakan hatinya, berbuat semena-mena, dan merugikan rakyat kecil.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Papua yang Luka dan Melahirkan Puisi

Sejak kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Esther t'lah menumpahkan kegelisahan-kegelisahannya dengan pena dan kertas. Tulisan-tulisan itu berceceran di mana-mana, di Salatiga hingga di Wamena, Papua, tempat kelahirannya.

Kala itu, Esther belum berani membeberkan tulisan-tulisan itu meski darahnya hampir berhenti mengalir, dan air matanya kering, menyaksikan penderitaan di bumi Cenderawasih.

Perempuan yang saat ini menjadi pelayan di gereja, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh luka di masa lalu. Saudara jauhnya secara bergilir diperkosa oleh TNI,  di hadapan suaminya sendiri.  Pengalaman traumatis dan operasi militer memaksa keluarga Esther mengungsi hinga ke perbatasan antara Papua Nugini dan Indonesia.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi Menjadi Saksi Zaman

Menurut Esther, perempuan di Papua mengalami beban dan derita yang berlapis. Selain praktek budaya patriarki yang masih kental, perempuan direpresi secara struktural, tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya, juga tak berpartisipasi di sektor publik.

Meski penuh luka, Esther tak memilih diam. Justru ia bangkit bersuara melalui tulisan-tulisannya.  Ia juga membuat gerakan West Papua Feminist Forum sebagai ruang aman dan gerakan kolektif para perempuan di Papua.

Atas perjuangan Esther Haluk menyuarakan keadilan lewat sastra, baru-baru ini, ia mendapatkan Dermakata Award, sebuah penghargaan untuk penulis daerah yang berkontribusi pada isu kemanusiaan. Penghargaan ini diberikan oleh Forum Kreator Era Artificial Intelegence (KEAI) melalui Denny JA Foundation. ***

Baca Juga: Catatan Denny JA: Artificial Intelligence tak Membunuh Penulis, tapi Mengubahnya

 

Halaman:

Berita Terkait