DECEMBER 9, 2022
Buku

“Khazanah Intelektual Islam”: Warisan Intelektual Nurcholish Madjid untuk Islam yang Inklusif dan Rasional

image

ORBITINDONESIA.COM - Dalam gelombang kebangkitan identitas keagamaan yang semakin menguat di ruang publik, buku Khazanah Intelektual Islam karya Nurcholish Madjid hadir sebagai oase pemikiran yang tenang namun penuh daya dobrak.

Diterbitkan pertama kali pada 1984, buku ini merupakan kumpulan esai penting Cak Nur yang telah ia tulis di berbagai media.

Walaupun ditulis beberapa dekade lalu, isi dan napas pemikiran dalam buku ini masih sangat relevan dengan tantangan umat Islam hari ini—bahkan mungkin lebih relevan dari sebelumnya.

Baca Juga: Perkumpulan Penulis Satupena Akan Diskusikan Pemikiran Islam Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii

Cak Nur tidak mengajak kita sekadar “kembali ke masa lalu” Islam yang gemilang.

Ia justru mengajak kita untuk menghidupkan kembali semangat Islam sebagai agama yang terbuka terhadap ilmu, kebudayaan, dan dinamika zaman.

Buku ini membahas berbagai tema, mulai dari relasi agama dan negara, konsep keadilan sosial dalam Islam, pentingnya kebebasan berfikir, hingga kritik terhadap formalisme dalam beragama.

Baca Juga: Kenangan Omi, Istri Nurcholish Madjid: Cak Nur Bukan Tipe Suami yang Serba Harus Dilayani.

Semua ini dibahas dengan sangat jernih, jauh dari nada menggurui. Di sinilah letak keistimewaannya: ia tidak menyuruh, tapi mengajak berdialog.

Salah satu tulisan paling menggugah adalah ketika Cak Nur menjelaskan konsep sekularisasi. Dalam pandangannya, sekularisasi bukanlah upaya menjauh dari agama, tapi cara membersihkan agama dari manipulasi kekuasaan.

Ini adalah pemikiran radikal di masanya, yang tentu menuai kritik dari sebagian kelompok konservatif. Namun Cak Nur tetap teguh. Ia membedakan secara tajam antara “sekularisme” (sebagai ideologi yang memisahkan agama secara total dari ruang publik) dan “sekularisasi” (sebagai proses historis untuk membebaskan agama dari kepentingan duniawi).

Baca Juga: Muenster, Kota Sekularisasi di Jerman

Gagasan ini penting untuk mendudukkan kembali Islam dalam konteks demokrasi dan pluralitas modern.

Buku ini memiliki keluasan referensi dan kepekaan sosial penulisnya. Cak Nur menggabungkan warisan pemikiran Islam klasik—dari Al-Ghazali hingga Ibnu Khaldun—dengan filsafat Barat modern.

Ia mampu mengutip Al-Qur’an dengan keindahan tafsir, lalu menyambungkannya dengan ide-ide seperti demokrasi, HAM, hingga spiritualitas dalam konteks kebangsaan.

Baca Juga: Buku John Palmeyer, “Ketika Iman Jadi Ancaman: Refleksi Kritis dalam Is Religion Killing Us?”

Inilah bentuk Islam yang tidak tertutup, tidak defensif, dan tidak reaksioner. Islam, bagi Cak Nur, adalah gerakan peradaban.

Namun demikian, sebagai kumpulan esai, struktur buku ini memang tidak selalu sistematis. Pembaca perlu fleksibel mengikuti alur yang berpindah-pindah topik, meski tetap dalam satu benang merah besar: pencarian Islam yang rasional, manusiawi, dan kontekstual.

Bagi pembaca yang baru mengenal pemikiran Cak Nur, mungkin beberapa bagian terasa agak padat, terutama yang sarat dengan istilah filsafat. Tapi itu sebanding dengan kedalaman makna yang ditawarkan.

Mengapa buku ini penting hari ini? Karena di tengah polarisasi—antara Islam konservatif yang menutup diri dan Islam liberal yang sering kehilangan akar spiritualnya—Khazanah Intelektual Islam menawarkan jalan tengah yang matang.

Buku ini bukan hanya untuk umat Islam, tapi juga untuk siapa saja yang ingin memahami bagaimana agama bisa tetap menjadi kekuatan pencerah dalam masyarakat modern tanpa kehilangan jiwanya.

Khazanah Intelektual Islam adalah warisan berharga yang harus terus dibaca, dibicarakan, dan diwariskan lintas generasi—karena agama yang hidup adalah agama yang terus direnungkan.***

Halaman:

Berita Terkait