DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kenangan Omi, Istri Nurcholish Madjid: Cak Nur Bukan Tipe Suami yang Serba Harus Dilayani.

image
Cak Nur atau Nurcholish Madjid

 
ORBITINDONESIA.COM - "Di balik kesuksesan seorang pria, pasti ada wanita hebat dibelakangnya." Ungkapan itu terasa pas menggambarkan pasangan Nurcholish Madjid atau Cak Nur, dan Omi Komariah.
 
Cak Nur bisa menjadi cendekiawan terkemuka dan khusuk berjuang menebarkan ide-ide dan pemikirannya berkat sokongan penuh Omi. Sebagai isteri, dia praktis mengerjakan semua tugas rutin rumah tangga, termasuk dalam hal mendidik kedua putri-putranya.
 
“Ada uang atau tidak, urusan dapur menjadi tanggung jawab saya. Pokoknya bapak tahu beres, saya tak mau menambahi beban dia dengan hal-hal seperti itu,” kata Omi, 65 tahun, mengenang kehidupannya bersama Cak Nur hampir selama 36 tahun.
 
 
Meski begitu, ia melanjutkan, Cak Nur pun bukan tipe suami yang serba harus dilayani. Kalau sekedar untuk sarapan dia biasa membuat teh dan menggoreng telur sendiri. Begitu pun kalau ada perkakas rumah tangga yang rusak, seperti mengganti lampu yang mati atau membersihkan kompor, Cak Nur pasti dengan sigap turun tangan.
 
“Bapak itu yang enggak bisa cuma nyetrika pakaian,” ujar Omi, tersenyum simpul.
Pasangan ini berjodoh berkat campur tangan guru Cak Nur di Pesantren Darus Salam, Gontor.
 
Maklum, dalam urusan mencari jodoh, meskipun sudah dikenal sebagai aktivis cemerlang yang memimpin Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dia mempercayakan sepenuhnya kepada kiainya di Gontor untuk memilihkan calon isteri.
 
Oleh sang kiai, Cak Nur dijodohkan dengan putri kedua Mohamad Kasim, pengusaha asal Madiun yang menjadi donatur tetap Pesantren Gontor.
 
 
“Sewaktu masih kelas II SMA, tiba-tiba bapak minta foto saya. Feeling saya, mesti ada apa-apa nih, mau dijodohkan. Ya sudah saya kasih pas foto saja biar si lelaki gak jadi naksir,” kenang Omi diiringi tawa.
 
Siasat itu keliru. Tak lama berselang, si pemuda datang bertandang dan Omi diminta yang menyuguhkan air minum dan makanan kecil. Karena ada pembantu, dia menolak.
 
Namun sang ibu, Siti Sutirah, membujuk agar tugas itu tetap dikerjakannya. Sepintas Omi cuma melirik si pemuda berpenampilan amat sederhana. Tapi dalam obrolan sang ayah terkesan lelaki itu adalah aktivis perjuangan.
 
Hingga suatu hari Omi menerima surat dari Cak Nur yang intinya menanyakan kesediaannya untuk menjadi isteri. Surat itu ditulis di sela-sela menunaikan ibadah haji dari Mekkah yang dibiayai Kementrian Pendidikan Saudi.
 
 
“Jadi bapak sudah haji sejak bujangan. Dia melamar itu lewat surat yang ditulisnya setelah berdoa di depan Kakbah di Mekkah,” tutur Omi.
 
Mereka akhirnya menikah pada 30 Agustus 1969, ketika Omi masih kuliah tingkat II di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia, Solo. Baru setelah hamil lima bulan, Cak Nur memboyongnya ke Jakarta. Mereka tinggal di rumah yang dipinjamkan Hartono, pengusaha kapal, di daerah Tebet.
 
Hingga dikaruniai dua anak, Nadya dan Mikail, kehidupan rumah tangga Cak Nur dan Omi berlangsung tertatih-tatih. Maklum, sebagai aktivis Cak Nur tak punya penghasilan tetap. Toh, Omi tak pernah mengeluhkannya.
 
Begitu pun selama mendampingi Cak Nur menempuh pendidikan doktoral di Universitas Chicago, Amerika Serikat pada 1978-1984, dia harus bekerja serabutan sebagai pengasuh bayi hingga petugas cleaning servis. Ia patuh pada pesan sang ayah, agar tak menggangu suami dengan urusan materi.
 
 
“Kamu akan menjadi istri seorang aktivis, pejuang. Jangan terlalu menuntut banyak materi. Kalau ada apa-apa ke saya saja,” tutur Omi menirukan nasihat Mohamad Kasim.
 
Setelah pulang dari Amerika Omi lebih banyak menghabiskan waktu menemani Cak Nur kemanapun. Berceramah di kelompok-kelompok pengajian, menjadi pembicara dalam seminar level nasional, hingga konferensi internasional di banyak negara Asia, Eropa, dan Amerika. Semua itu dilakukan atas permintaan sang suami, meski semula Omi merasa risih takut dikira sebagai isteri pencemburu.
 
“Itu bapak yang selalu minta karena butuh tempat curhat yang hanya bisa diceritakan kepada saya. Saat di mobil sebelum tiba di tempat acara, dia suka tanya sebaiknya menyampaikan cerita apa ke audience,” kata Omi.
 
Omi pun nyaris tak pernah beranjak dari sisi Cak Nur saat menjalani perawatan di Cina dan Singapura, hingga mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pondok Indah pada 29 Agustus 2005.
 
 
Omi sempat membacakan surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlas seperti diminta Cak Nur sesaat sebelum mengembuskan nafasnya.
 
“Cepat atau lambat, semua orang akan dipanggil Tuhan. Sekarang papa dulu yang dipanggil Allah, nanti mama dan anak-anak pasti menyusul,” bisik Omi kala itu.
 
Kini, sembilan tahun sudah, jasad Cak Nur bersemayam di pemakaman pahlawan Kalibata. Dan Omi bersama para murid Cak Nur bertekad untuk merawat warisan sang Guru Bangsa itu dan melanjutkan cita-citanya. Amien...
 
(DeTik edisi 25-31 Agustus 2014)***
 

Berita Terkait