Puisi Esai Denny JA: Ketika Kita Diam Saja Melihat 1300 Anak-anak Dibunuh
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 31 Mei 2025 13:20 WIB

ORBITINDONESIA.COM - (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mei 2025, Diplomat Palestina itu menangis, mengenang cucunya, dan 1300 anak-anak Palestina yang sudah dibunuh). (1)
Di ruangan megah itu,
dipenuhi para duta dari negeri-negeri berdaulat,
dengan jas rapi dan kalimat diplomatik,
seorang lelaki meninju meja.
Bukan karena marah semata,
tapi karena putus asa yang tak tahu lagi,
bagaimana cara menyentuh hati manusia.
Ia adalah Riyad Mansour,
tangan yang mewakili tanah yang terbakar,
tubuh yang membawa nama Palestina,
tapi di hari itu, ia bukan diplomat.
Ia hanya seorang kakek.
Dengan suara patah ia berkata:
“Saya punya cucu.
Saya tahu apa arti mereka…”
Lalu ia terdiam.
Air matanya mendahului kata-kata.
Karena apa lagi yang bisa menjelaskan,
bagaimana 1300 anak-anak
dibunuh,
dengan tubuh kecil mereka
tak bisa lagi berlari ke pelukan siapa pun?
-000-
Apa arti kecanggihan AI,
jika tak membuat kita mampu mengenali
1300 suara tangis
anak-anak yang mati dari reruntuhan Gaza?
Apa arti peta dunia
dengan warna-warna negara super power,
jika tak satu pun warna itu berdaya
menolong 1300 anak- anak yang dibunuh?
Apa arti grafik pertumbuhan ekonomi
yang melonjak dari layar ke layar,
jika 1300 anak-anak dibiarkan
terhapus tanpa nama di tanah yang tak pernah tenang?
Apa arti katedral, masjid, vihara, dan sinagoga
yang gemerlap, penuh nyala lilin dan doa,
jika kita tetap diam
ketika 1300 jiwa kecil
diterbangkan tanpa alasan yang adil?
-000-
1300 anak mati pertama kali
karena bom.
Dan mati kedua kalinya
karena lapar dan penyakit.
Dan mati ketiga kalinya
karena kita semua memilih diam.
Mereka sempat
dimasukkan ke dalam puisi,
tapi puisi tak lagi bisa menggerakkan kita.
Gambar mereka viral,
tapi tak bertenaga menggugah kebijakan.
Tangis mereka
tak terdengar karena tenggelam
oleh bisingnya bursa saham.
Adakah suara
yang lebih nyaring dari jerit
seorang anak yang kehilangan ibunya
di bawah puing rumah?
Adakah doa
yang lebih tulus dari bisikan
anak yang mencoba
menenangkan adiknya yang berdarah?
-000-
Ketika Mansour menangis,
langit PBB hening
seperti padang pasir
di malam yang kehilangan bintang.
Ia tak lagi berpidato.
Ia menghidupkan luka,
sebagai satu-satunya narasi,
tak bisa dibantah siapa pun.
Ketika ia berkata,
“Api dan kelaparan melahap anak-anak kami!”
meja-meja itu menjadi batu nisan,
yang tidak sempat diukir
untuk mereka yang mati terlalu dini.
Para diplomat menunduk,
bukan karena setuju.
Mereka malu,
Betapa jauh hati mereka,
tertinggal dari realitas.
Sejarah akan menuliskan
dengan tinta darah:
“Di masa anak-anak dibunuh,
umat manusia memilih netral.”
-000-
Jika setelah 1300 anak-anak dibunuh
kita masih bisa tidur lelap,
masih bisa menyeruput kopi
dan menggulir berita lainnya,
maka mungkin,
yang mati bukan hanya mereka.
Tapi kita juga,
yang seolah hidup,
tapi hati kita sudah ikut mati.
Dan kelak, jika kita dikenang,
biarlah nama kita tercatat bukan sebagai pembela,
tapi sebagai saksi yang bungkam
saat masa paling memalukan
dalam sejarah manusia.***
Jakarta, 31 Mei 2025
CATATAN
(1) Diplomat Palestina itu menangis di PBB mengapa dunia diam saja membiarkan 1300 anak-anak Palestina mati dibunuh.
Palestinian UN envoy breaks down in tears over children dying in Gaza | News | Independent TV
-000-
Aneka puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World