
Mereka bias - tidak independen - cenderung buruk sangka - dan suka sensasi. Mereka sudah mengambil kesimpulan dan menulis judul berita dan acara - bahkan sebelum mengumpulkan informasi lengkap. Sengaja bersikap tidak adil.
Contoh : jika negara memberi makan gratis 1000 anak, tapi 5 penerima paket makan basi lauk pauknya, maka fokus ekspose dan pemberitaan diarahkan pada kasus makanan basi itu, bukan program makan gratisnya. Lalu memelintir isu hidangan yang basi sebegitu rupa - menjadikannya bahasan di program ‘talkshow’ - mencari narasumber yang menolak dan antipati - untuk menghakimi dan mengambil kesimpulan program itu gagal, cacad, dan tak layak diteruskan. Setelah itu ditayangkan berulang ulang, sampai publik berkesimpulan bahwa program itu gagal dan tidak layak mendapat dukungan .
Begitu juga dengan isu ijazah palsu. Hanya bermodal analisa dari fotokopi hasil postingan media sosial - lalu dicarikan narasumber yang mengekspos sisi sensasinya berulang ulang - berdalih “penelitian ilmiah” dari “pakar informatika”, “ahli forensik” dan imajinasi pemalsuan skripsi dan melebar kemana mana.
Mereka menyamakan kegiatan pendidikan dengan kasus penyimpangan. Melindungi HAM pelaku kejahatan, anak usia sekolah yang enggan belajar dan tawuran yang memegang senjata tajam yang mengerikan di jalanan. Mempertimbangkan “kenyamanan” mereka, HAM mereka merujuk pada teori pendidikan yang ideal, wacana, konsep yang melambung tanpa solusi, yang hanya berhenti pada narasi narasi kosong. Mengabaikan para orangtua yang sudah putus asa dan menyerah -
Media cenderung memberi tempat kepada pengamat yang kontra dari isu besar seolah sama besar dengan mayoritas diam yang pro - seolah sama kuat dan sama sama pentingnya.
Sensasi itu sebenarnya padam sendiri jika media ‘mainstream’ tidak memberitakan dan menganggap isu tidak penting. Masalahnya - media kredibel sengaja menayangkan dan membesarkannya. Mem-blow-up-nya sebagai ‘angel’ informasi yang berbeda.
Baca Juga: Masyarakat Tetap Konsumsi Aqua, Tidak Terpengaruh Framing Negatif di Media dan Sosmed
RUMUS media klasik memang sederhana dan sampai kini terus diterapkan : “Bad News is Good News”. Bahwa “anjing menggigit manusia bukan berita. Manusia menggigit anjing lah yang berita”. Kebenaran dari pemerintah dan negara bukan berita. Oposisi yang mengamuk lah yang menjadi berita - aspirasi kaum sakit hatilah yang harus diberitakan. Mereka sengaja mendatangkan orang orang yang tidak kredibel sebagai “pengamat” - “pakar” tanpa menguji kepakarannya.
Media ‘mainstream’ kita, sebagiannya, telah terjebak pada praktik praktik jurnalistik jahat - yang secara kasat mata membodohi masyarakat. Dengan berita hasil memamah biak, mengunyah nguyah isu basi, dan menyajikannya berulang ulang di medianya - karena ada konsumennya, yang rakus dan menelannya mentah mentah sebagai kebenaran. Meski mengandung racun yang merusak pikiran.
Barangkali itulah kiat media masa yang tersisa kini untuk bertahan hidup. Demi iklan, demi sponsor dari pihak dan kelompok kepentingan. Dengan cara merusak otak pemirsa, warga masyarakat yang kecanduan berita sensasi.
Baca Juga: Pakar Teknologi Pangan Heran Framing Bahaya BPA di Kemasan Air Galon Terus Didorong
*Supriyanto Martosuwito adalah jurnalis dan kolumnis. ***