DECEMBER 9, 2022
Kolom

Analisis Ekonomi: Penurunan Peringkat Kredit AS Tambah Tekanan pada Ekonomi

image
Sejumlah orang berjalan melewati Gedung Capitol Amerika Serikat (AS) di Washington DC, AS, pada 19 Januari 2025. (Xinhua/Wu Xiaoling)

ORBITINDONESIA.COM -- Penurunan peringkat kredit negara Amerika Serikat (AS) terbaru versi Moody's dari Aaa menjadi Aa1 diperkirakan akan memperkuat tekanan menurun terhadap ekonomi AS, yang sedang menghadapi risiko resesi di tengah kenaikan tarif dan meningkatnya perkiraan inflasi.   

Moody's mengutip meningkatnya utang pemerintah dan pembayaran bunga sebagai alasan penurunan peringkat tersebut. "Penurunan satu tingkat dalam skala peringkat 21-tingkatan kami ini mencerminkan peningkatan selama lebih dari satu dekade dalam rasio utang dan pembayaran bunga pemerintah ke level yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan negara-negara berdaulat dengan peringkat serupa," demikian menurut rilis Moody's pada Jumat, 16 Mei 2025.

"Pemerintahan dan Kongres AS dari waktu ke waktu telah gagal mencapai kesepakatan mengenai langkah-langkah untuk membalikkan tren defisit fiskal tahunan yang besar dan meningkatnya biaya bunga," imbuh Moody's.

Baca Juga: The Wall Street Journal: Donald Trump Mungkin Akan Melonggarkan Tarif Impor Produsen Mobil

Ini menandai pertama kalinya ketiga lembaga pemeringkat kredit internasional utama, yakni Moody's Ratings, S&P Global Ratings, dan Fitch Ratings, memberikan peringkat di bawah tingkat tertinggi untuk AS, kata James Humphries, pendiri sekaligus mitra pengelola Mindset Wealth Management LLC.

Implikasi jangka panjangnya jelas karena ekspansi fiskal yang berkelanjutan tanpa upaya yang kredibel untuk menstabilkan utang pada akhirnya dapat memengaruhi biaya pinjaman dan fleksibilitas ekonomi, kata Humphries kepada Reuters.

Penurunan peringkat kredit ini diperkirakan akan mendorong kenaikan biaya pinjaman dan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Pasar perumahan kemungkinan akan merasakan dampak pertama, karena suku bunga hipotek tetap berhubungan dengan tolok ukur tersebut.

Baca Juga: CRIF Luncurkan Fitur untuk Menilai Potensi Dampak Tarif AS pada Strategi Bisnis Perusahaan

"Penurunan peringkat kredit AS oleh Moody's merupakan kelanjutan dari tren panjang ketidakbertanggungjawaban fiskal yang pada akhirnya akan menyebabkan biaya pinjaman makin tinggi bagi sektor publik dan swasta di AS," kata Spencer Hakimian, pendiri dana lindung nilai Tolou Capital Management.

Moody's mengatakan bahwa jika pemotongan pajak tahun 2017 oleh Presiden Donald Trump, yang dijadwalkan berakhir tahun ini, diperpanjang oleh Kongres, hal itu dapat menambah sekitar 4 triliun dolar AS (1 dolar AS = Rp16.424) ke defisit fiskal AS selama dekade berikutnya.

"Sebagai akibatnya, kami memperkirakan defisit federal akan melebar, mencapai hampir 9 persen dari produk domestik bruto (PDB) per 2035, naik dari 6,4 persen pada 2024," kata Moody's. "Kami memperkirakan beban utang federal akan meningkat menjadi sekitar 134 persen dari PDB per 2035, dibandingkan dengan 98 persen pada 2024."

Baca Juga: China dan Amerika Serikat Akan Mulai Negosiasi Tarif di Swiss

Ed Yardeni, selaku presiden Yardeni Research, mengatakan bahwa imbal hasil obligasi pemerintah untuk jangka waktu 10 tahun dapat melonjak hingga 5 persen saat rincian rancangan undang-undang perpajakan diselesaikan, demikian dilaporkan Business Insider.

Menurut sebuah makalah penelitian yang diterbitkan di Journal of Banking & Finance pada 2016, perubahan peringkat kredit suatu negara dapat memengaruhi pertumbuhan ekonominya melalui "saluran tingkat suku bunga dan aliran modal."

"Kenaikan (atau penurunan) satu tingkat menyebabkan peningkatan (atau penurunan) sekitar 0,6 persen (0,3 persen) dalam tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata lima-tahunan di negara-negara yang peringkatnya disesuaikan," demikian isi makalah berjudul "The relation between sovereign credit rating revisions and economic growth" tersebut.

Baca Juga: AS Mungkin Akan Mengurangi Tarif Impor Terhadap China Hingga Mencapai 50-54 Persen

Ekonomi AS menyusut pada tingkat tahunan sebesar 0,3 persen pada kuartal pertama tahun ini, di tengah kebijakan tarif yang meningkatkan ketidakpastian dan melemahkan kepercayaan.

Beberapa lembaga riset telah menurunkan kemungkinan resesi AS pada 2025 setelah pertemuan ekonomi dan perdagangan tingkat tinggi China-AS yang digelar selama dua hari di Jenewa meredakan ketegangan antara dua perekonomian terbesar dunia itu. Namun, AS masih menghadapi risiko resesi yang signifikan.

Kepala ekonom AS JPMorgan, Michael Feroli, mengatakan, "Kami percaya risiko resesi masih tinggi, tetapi kini di bawah 50 persen," turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 60 persen yang didasarkan pada kebijakan tarif besar-besaran AS yang diumumkan pada awal April.

Baca Juga: Tarif AS-China Turun Tajam, Apa Artinya untuk Ekonomi Dunia?

Investor miliarder AS Steve Cohen mengatakan bahwa kemungkinan terjadinya resesi AS saat ini sekitar 45 persen. "Kita belum berada dalam resesi, tetapi kita mengalami perlambatan pertumbuhan yang signifikan," katanya pada Rabu, 14 Mei 2025, dalam sebuah konferensi investasi di New York.

Khususnya, indeks harga produsen AS untuk permintaan akhir turun 0,5 persen pada April karena menurunnya permintaan untuk perjalanan udara dan akomodasi hotel.

Sentimen konsumen AS pada Mei turun, dan telah turun selama lima bulan berturut-turut, sedangkan perkiraan inflasi satu-tahun mencapai tingkat tertinggi sejak 1981, demikian menurut hasil survei awal yang dirilis oleh Universitas Michigan pada Jumat.

Baca Juga: South Centre Desak Negara-Negara Berkembang Bersatu Lawan Penyalahgunaan Tarif AS

"Ini bukan hanya soal tarif, tetapi juga kelemahan mendasar di kalangan konsumen AS saat ini, dan kuartal kedua akan menjadi kuartal yang lemah bagi pertumbuhan, mengingat kita memasukinya dengan sentimen yang buruk dan banyak ketidakpastian seputar kebijakan. Dan hal itu belum sepenuhnya terselesaikan, meskipun apa yang telah kami lakukan dengan China akhir pekan lalu," kata Thierry Wizman, ahli strategi valuta asing dan suku bunga global di Macquarie Group, seperti dikutip oleh CNBC. 

(Oleh Liu Yanan, penulis Xinhua) ***

Halaman:
Sumber: Xinhua

Berita Terkait