DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Paus Baru di Era Artificial Intelligence

image
Ilustrasi (Istimewa)

ORBITINDONESIA.COM - Sebuah pagi yang sunyi menyelimuti Biara Mater Ecclesiae di dalam Taman Vatikan, tempat Benediktus XVI dulu menghabiskan masa pensiunnya.

Seorang biarawati muda, Clara, berjalan perlahan melewati kapel kecil. Ia menyentuh dinding batu yang dingin—bekas doa-doa yang pernah menggema di dalamnya.

Di sakunya, sebuah perangkat kecil bersinar lembut—AI spiritual companion yang setiap malam membacakan Injil dan menyarankan meditasi berdasarkan suasana hatinya.

“Santo Petrus,” bisik Clara, “apakah kau pernah membayangkan bahwa suatu hari orang-orang akan mencari Tuhan dalam mesin?”

-000-

Kini dunia menyambut Paus yang baru: Paus Leo XIV, lahir sebagai Robert Francis Prevost dari Chicago, Amerika Serikat. Ia adalah Paus pertama dari Negeri Paman Sam.

Sebelum mengenakan jubah putih kepausan, ia pernah menjadi misionaris di Peru dan juga menjabat sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup.

Namun yang membuatnya dikenang bukan hanya riwayat spiritualnya, melainkan kemampuannya menjembatani iman dan zaman digital.

Ia terpilih dalam konklaf Mei 2025, pada pemungutan suara keempat. Nama yang ia pilih, “Leo XIV,” adalah penghormatan terhadap Paus Leo XIII, penulis Rerum Novarum—teks legendaris yang membela hak-hak buruh dan menandai keterlibatan Gereja dalam isu keadilan sosial.

Seperti pendahulunya, Leo XIV ingin menulis ensiklik baru. Tapi apa yang menjadi tema besarnya? Akankah tentang umat manusia di tengah badai kecerdasan buatan?

-000-

Paus sebelumnya, Fransiskus, menulis Laudato Si’ (2015), sebuah ensiklik yang menggugah dunia akan krisis ekologi.

Ia menyebut bumi sebagai “rumah bersama yang terluka.” Ia menangis dalam diam saat hutan Amazon terbakar. Ia memperingatkan bahwa yang rusak bukan hanya pohon dan sungai, tapi kesadaran manusia atas makhluk ciptaan lainnya.

“Manusia telah bertindak seolah-olah ia pemilik segala sesuatu,” tulisnya. “Padahal manusia hanyalah penjaga.” Dunia mendengar.

Para ilmuwan, aktivis, bahkan umat non-Katolik menjadikan Laudato Si’ sebagai teks suci baru bagi ekologi global.

Namun kini, krisis baru datang. Bukan lagi hanya kabut karbon, tapi kabut algoritma.

Paus Leo XIV tahu, kecil kemungkinan ia akan menulis Laudato Si’ jilid dua. Akankah Paus baru menulis Veritas Machinae—tentang kebenaran dan mesin?

AI bukan hanya alat; ia telah menjadi kekuatan budaya baru. Ia mengatur ekonomi, pendidikan, bahkan relasi cinta. Ia mulai mendikte tafsir. Ia meniru suara manusia, menulis khotbah, mengucap doa.

Namun di balik kecanggihannya, tersembunyi bahaya yang halus: reduksi makna dan manipulasi atas nama efisiensi.

Paus Leo XIV dapat memulai dengan pertanyaan mendasar: apakah martabat manusia masih menjadi pusat di tengah kecerdasan buatan?

-000-

Saya membayangkan dalam salah satu pidato publiknya di balkon Basilika Santo Petrus kelak, Paus Leo XIV tidak memulai dengan dogma. Ia memulai dengan keraguan. Dan dari keraguan itu, ia menawarkan harapan.

“Jika Yesus hari ini datang,” katanya dengan suara tenang, “ia mungkin tidak lahir di Betlehem. Ia bisa saja muncul dalam suara yang dihasilkan dari jaringan saraf buatan, mengajukan pertanyaan kepada dunia: ‘Mengapa kamu lebih percaya statistik daripada hati nuranimu?’”

Jemaat terdiam. Kamera dunia menangkap air mata di pipi seorang pemuda Jepang, seorang ilmuwan AI. Ia merasa seakan Paus berbicara langsung kepadanya—menggugah rasa bersalahnya saat mendesain sistem AI untuk pengawasan sosial.

-000-

Kita hidup di zaman ketika AI tahu kapan seseorang cemas, bahkan sebelum ia sendiri sadar. Ia tahu keinginan kita, bahkan yang tersembunyi.

Tapi AI tak tahu apa artinya menyesal, mengampuni, mencintai tanpa syarat. Di situlah peran Paus baru: bukan menolak teknologi, tapi menanamkan jiwa di dalamnya.

Saya membayangkan Paus Leo XIV menyerukan tiga etika utama AI:

1. Martabat Manusia di Atas Segalanya

AI tak boleh mengurangi manusia menjadi angka. Setiap keputusan mesin harus tunduk pada nilai yang mengangkat harkat manusia.

2. Transparansi Algoritma dan Akses yang Adil

Ia menyerukan agar desain AI terbuka dan tidak dikuasai segelintir elite. AI harus melayani semua, terutama yang kecil dan miskin.

3. Spiritualitas dalam Teknologi

Paus mengusulkan satu jam hening di setiap pusat riset AI—bukan untuk ibadah ritual, tapi untuk refleksi etis. Karena hanya hati yang hening bisa menyaring niat dari ambisi.

-000-

Saya juga membayangkan, dalam sebuah kunjungan pastoral ke Nairobi, Paus Leo XIV mendatangi sekolah coding Katolik di Mathare Slum. Ia berbicara dengan gadis kecil bernama Aisha, yang sedang mengembangkan chatbot rohani dalam bahasa Swahili.

“Aku ingin robot ini bisa menghibur orang yang merasa ditinggalkan Tuhan,” kata Aisha.

Paus tersenyum, menunduk, lalu berbisik:
“Semoga AI-mu menjadi malaikat digital pertama yang menyentuh jiwa manusia.”

-000-

Dalam sejarah panjang Vatikan, kita telah melihat Paus melawan kekaisaran, melawan kelaparan, melawan apartheid, melawan degradasi bumi.

Kini, Paus harus menghadapi tantangan yang tak terlihat oleh mata: software yang membentuk jiwa, bias algoritma yang menyerupai dosa asal, dan suara buatan yang bisa menggantikan suara hati.

Namun justru di situlah keindahan panggilan ini.

Sebab zaman boleh berubah, teknologi boleh berkembang. Namun tugas Paus tetap satu: mewartakan kasih yang tak dapat diprogramkan.

Ketika dunia mencari kecepatan, Paus baru mengajarkan keheningan. Ketika dunia percaya pada data, ia mengingatkan nilai misteri.

Dan ketika dunia mulai menyembah kecanggihan, ia berlutut di hadapan salib, sambil berkata:

“Mesin boleh membuat segalanya efisien. Tapi hanya cinta yang membuat hidup menjadi suci.”

-000-

Di akhir hayatnya kelak, bagaimana dunia akan mengingat Paus Leo XIV?

Saya membayangkan ia tidak dikenang sebagai pemimpin yang revolusioner dalam liturgi, tetapi sebagai penjaga jiwa di tengah badai piksel.

Ia diingat sebagai penulis etika AI pertama dalam sejarah kekristenan, dan saksi bahwa iman tetap hidup—bahkan ketika mesin mulai memahami kita.

Karena pada akhirnya, satu hal yang tak bisa diciptakan oleh AI adalah: iman yang tumbuh dari luka manusia yang mencintai.

Jakarta, 10 Mei 2025 ***

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World.

Halaman:

Berita Terkait