Catatan Denny JA: Paus Baru di Era Artificial Intelligence
- Sabtu, 10 Mei 2025 09:16 WIB

-000-
Saya membayangkan dalam salah satu pidato publiknya di balkon Basilika Santo Petrus kelak, Paus Leo XIV tidak memulai dengan dogma. Ia memulai dengan keraguan. Dan dari keraguan itu, ia menawarkan harapan.
“Jika Yesus hari ini datang,” katanya dengan suara tenang, “ia mungkin tidak lahir di Betlehem. Ia bisa saja muncul dalam suara yang dihasilkan dari jaringan saraf buatan, mengajukan pertanyaan kepada dunia: ‘Mengapa kamu lebih percaya statistik daripada hati nuranimu?’”
Jemaat terdiam. Kamera dunia menangkap air mata di pipi seorang pemuda Jepang, seorang ilmuwan AI. Ia merasa seakan Paus berbicara langsung kepadanya—menggugah rasa bersalahnya saat mendesain sistem AI untuk pengawasan sosial.
-000-
Kita hidup di zaman ketika AI tahu kapan seseorang cemas, bahkan sebelum ia sendiri sadar. Ia tahu keinginan kita, bahkan yang tersembunyi.
Tapi AI tak tahu apa artinya menyesal, mengampuni, mencintai tanpa syarat. Di situlah peran Paus baru: bukan menolak teknologi, tapi menanamkan jiwa di dalamnya.
Saya membayangkan Paus Leo XIV menyerukan tiga etika utama AI:
1. Martabat Manusia di Atas Segalanya
AI tak boleh mengurangi manusia menjadi angka. Setiap keputusan mesin harus tunduk pada nilai yang mengangkat harkat manusia.