Air Jadi Senjata Geopolitik Baru di Tengah Krisis Kashmir
- Penulis : M. Ulil Albab
- Sabtu, 26 April 2025 14:14 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Kashmir kembali bergejolak setelah sekelompok orang bersenjata melepaskan tembakan ke arah wisatawan di Pahalgam, sebuah tujuan wisata populer di Kashmir, pada 22 April lalu, yang mengakibatkan sedikitnya 26 insan meninggal dunia.
Serangan yang mengerikan dan salah satu yang paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir ini di Kashmir telah mendapat kecaman dari banyak pihak. Sekjen PBB Antonio Guterres mengutuk aksi serangan itu serta menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada keluarga para korban.
Sekjen PBB juga menekankan bahwa serangan terhadap warga sipil tidak dapat diterima dalam kondisi apa pun. Pesan yang serupa terkait serangan Kashmir juga datang dari berbagai pemerintahan dan lembaga yang berpengaruh di tingkat internasional dari berbagai lintas golongan.
Baca Juga: Dampak Terorisme: Lima Siswa Sekolah Usia 5-10 Tahun Tewas Akibat Ledakan di Pakistan
Selain sebagai sebuah tindakan terorisme yang tidak berperikemanusiaan, aksi di Kashmir ternyata juga tidak hanya mengakibatkan ketegangan antara India dan Pakistan, dua pihak yang kerap berselisih soal Kashmir.
Kantor berita Anadolu memberitakan bahwa dampak kejadian itu mengakibatkan hubungan antara India dan Pakistan jatuh ke titik terendah, antara lain dengan langkah New Delhi yang menangguhkan Perjanjian Air Indus (Indus Waters Treaty/IWT).
IWT itu mengatur penjatahan air dari enam sungai di daerah aliran sungai Indus antara dua negara bersenjata nuklir tersebut. IWT mengalokasikan tiga sungai di sisi timur (Ravi, Beas, dan Sutlej) di lembah Sungai Indus ke India, sementara 80 persen dari tiga sungai di sebelah barat (Indus, Jhelum, dan Chenab) ke Pakistan.
Baca Juga: Taliban: Pengeboman Jet Tempur Pakistan di Afghanistan Tewaskan 46 Orang
BBC melaporkan bahwa penangguhan penerapan IWT itu merupakan satu dari beberapa langkah yang diambil India setelah New Delhi menuding Pakistan telah mendukung terorisme lintas batas, sebuah tuduhan yang dibantah keras oleh Islamabad.
Islamabad menegaskan, keputusan tersebut amat "sembrono" dan memperingatkan bahwa tindakan apapun oleh India untuk mengalihkan atau menghentikan aliran air ke Pakistan akan dianggap sebagai "tindakan perang".
Pakistan juga mengingatkan bahwa Perjanjian Air Indus yang dimediasi oleh Bank Dunia dan diteken pada September 1960 itu tidak mencantumkan mekanisme untuk menangguhkan perjanjian secara sepihak.
Baca Juga: PM Shehbaz Sharif: Lebih dari 22 Juta Anak di Pakistan Tidak Bersekolah
BBC memaparkan pula bahwa perselisihan air Indus ini sebenarnya tidak hanya terjadi saat ini, tetapi sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Sejumlah perselisihan di masa lalu terjadi seperti Pakistan yang menolak proyek pembangunan PLTA dan infrastruktur air India, dengan alasan bahwa proyek tersebut melanggar IWT karena akan mengurangi aliran air ke Pakistan, padahal 80 persen lebih pertanian dan sekitar sepertiga PLTA Pakistan bergantung pada air Indus.
India sendiri juga telah berulang kali mengupayakan adanya peninjauan ulang terhadap IWT, dengan alasan adanya perubahan kebutuhan pada saat ini untuk irigasi, air minum, hingga tenaga air, yang terdampak dari beberapa faktor seperti perubahan iklim.
Baca Juga: TNI AL Kirim KRI Bung Tomo-357 ke Karachi, Pakistan untuk Latihan Perang Aman Exercise 2025
Berbagai perselisihan itu biasanya dilakukan melalui jalur hukum di tingkat mediasi internasional, tetapi ini pertama kalinya terjadi rencana penangguhan IWT secara sepihak.
BBC mengungkapkan bahwa berbagai ahli sebenarnya menyatakan bahwa hampir mustahil bagi India untuk menahan puluhan miliar meter kubik air dari sungai-sungai barat selama periode aliran tinggi. Hal itu karena India tidak memiliki infrastruktur penyimpanan besar-besaran dan kanal-kanal ekstensif.
Namun, beberapa ahli mengingatkan bahwa jika India mulai mengendalikan aliran air dengan infrastruktur yang mumpuni, maka Pakistan dapat merasakan dampaknya selama musim kemarau, ketika ketersediaan air sudah berada pada titik terendah.
Baca Juga: AMAN Exercise, KSAL Pakistan Tinjau KRI Bung Tomo-357 di Karachi
Kontribusi konflik air
Dalam lintasan sejarah umat manusia, konflik air telah banyak berkontribusi terhadap meningkatkan ketegangan bahkan hingga tindak kekerasan, karena sumber air merupakan salah satu dari faktor penting dari terjadinya beberapa konflik di dunia.
Selain perselisihan India-Pakistan terhadap air di lembah Indus, sejumlah kasus lainnya di mana air merupakan faktor berpengaruh dapat disebut konflik Darfur di Sudan sejak 2003.
Baca Juga: Imigrasi Dalami Sindikat Pembuat Paspor Prancis Palsu yang Dipakai Warga Pakistan
Kelangkaan air dan berkurangnya lahan subur akibat fenomena penggurunan disinyalir telah meningkatkan ketegangan antara masyarakat nomaden dan petani, serta memperburuk konflik etnis dan berbasis sumber daya, membuat Darfur menjadi konflik modern awal terkait dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air.
Begitu pula dengan Perang Saudara di Suriah yang sebelum pecah pada 2011, didahului dengan fenomena kekeringan parah selama bertahun-tahun yang terkait dengan perubahan iklim, sehingga menyebabkan migrasi urbanisasi besar-besaran yang memicu adanya keresahan ekonomi dan sosial sebelum konflik meletus.
Pada abad yang lalu, dapat disebut Perang Enam Hari pada 1967, di mana Israel melancarkan serangan pendahuluan antara lain terhadap upaya Suriah untuk mengalihkan aliran air di anak Sungai Yordan. Perang Enam Hari adalah contoh di mana infrastruktur air menjadi target strategis serangan militer.
Baca Juga: China Pilih Astronot Pakistan yang Jadi Warga Asing Pertama ke Stasiun Ruang Angkasanya
Serangan militer yang ditujukan secara langsung dalam konflik baru-baru ini juga terjadi pada konflik di Ukraina, ketika hancurnya Bendungan Kakhova di Sungai Dnieper, Ukraina, pada Juni 2023 mengakibatkan banjir besar, pemindahan banyak warga di sekitar bendungan, dan kerusakan lingkungan yang signifikan.
Berbagai tragedi itu mengingatkan bahwa konflik dapat dipicu atau diperkuat intensitasnya antara lain karena kelangkaan akibat kekeringan atau perubahan iklim (seperti terjadi di Darfur, Suriah), hingga faktor kontrol strategis akses hulu versus hilir.
Memang harus ditekankan bahwa air bukanlah satu-satunya faktor atau penyebab utama dari terjadinya berbagai konflik yang telah dipaparkan tadi, tetapi tidak salah rasanya untuk menggarisbawahi bahwa infrastruktur air semakin lama menjadi semakin strategis pada terjadinya konflik di era modern ini, sehingga perlu adanya tindakan internasional untuk melindungi sumber daya yang kritis tersebut.
Baca Juga: Korban Tewas Serangan Kereta Api di Balochistan, Pakistan Meningkat Jadi 30 Orang
Kembali ke perselisihan air Indus antara India dan Pakistan, ketegangan pascaserangan di Pahalgam memang berpotensi membuat air kembali menjadi unsur yang signifikan dalam salah satu kekisruhan yang tengah disorot dunia saat ini.
Apalagi, ketersediaan air dari lembah Indus juga dirasakan semakin penting mengingat dampak perubahan iklim membuat semakin cepatnya gletser di pegunungan Himalaya mencair dengan cepat, sehingga berisiko menimbulkan kelangkaan pada masa mendatang di kawasan Asia Selatan.
Cegah eskalasi
Baca Juga: Pengebom Bunuh Diri Targetkan Aksi Protes di Provinsi Balochistan, Pakistan Barat Daya
Sejumlah tindakan nyata yang dapat membantu mengurangi ketegangan dan mencegah eskalasi antara lain adalah memperkuat atau merundingkan ulang IWT, demi menyesuaikan perjanjian tahun 1960 itu dengan realitas saat ini seperti dampak perubahan iklim, pertumbuhan populasi, dan disrupsi teknologi.
Poin yang dapat dibahas antara lain adalah menambahkan klausul ketahanan iklim dan mekanisme respons kekeringan/banjir bersama, menetapkan protokol yang jelas untuk infrastruktur baru India (seperti bendungan) untuk menghindari ambiguitas, serta membentuk badan pengawas multilateral, bukan hanya bilateral.
Dalam segi teknologi, maka perlu adanya pemantauan air dan pembagian data bersama antara kedua negara yang berjalan secara transparan, dengan bantuan pemasangan sensor aliran sungai waktu nyata di titik-titik utama, keterbukaan dalam data hidrologi dan satelit, serta melibatkan auditor internasional.
Baca Juga: Nissan Indonesia Tanggapi Kabar Merger dengan Honda dan Penutupan Pabrik di India dan Thailand
Kedua belah pihak juga perlu untuk menjaga dialog agar dapat tetap aktif selama masa damai untuk mencegah pengambilan keputusan yang bersifat krisis, serta betul-betul menerapkan proyek infrastruktur kolaboratif untuk mengubah pola pikir persaingan menjadi kerja sama.
Selain itu, perlu pula menggunakan komisi independen untuk menilai proyek terkait air Indus, serta mempromosikan solusi teknis dibanding sikap politis, dalam rangka mencegah isu air menjadi alat politik nasionalis-populis yang dapat memicu konflik.
Dunia, khususnya lembaga tingkat internasional, juga perlu memikirkan langkah-langkah agar pengelolaan air ditempuh lewat jalan perdamaian dibanding eskalasi ketegangan. Hal itu dapat dilakukan antara lain dengan menawarkan bantuan pembangunan atau dana iklim yang dapat dikucurkan bila terkait dengan kerja sama nyata dalam pengelolaan air, serta menggunakan instrumen hukum internasional untuk dapat mencegah berbagai pihak tidak bertanggung jawab dalam menggunakan air sebagai "senjata" dalam konflik.
Baca Juga: Pakistan Deportasi Lebih dari 84 Ribu Warga Afghanistan Sejak Akhir Maret 2025
Untuk itu, berbagai pihak diharapkan dengan sangat dapat menempuh langkah kebijaksanaan, kerja sama, dan visi jangka panjang guna mengelola sumber air demi melestarikan perdamaian dunia, daripada "membegal" keuntungan jangka pendek yang malah memanfaatkan air untuk meningkatkan ketegangan politik.
(Oleh M Razi Rahman) ***