Wang Lutong: Dunia Butuh Keadilan, Bukan Hegemoni
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Sabtu, 12 April 2025 07:40 WIB

Oleh Wang Lutong*
ORBITINDONESIA.COM - Baru-baru ini, Pemerintah Amerika Serikat (AS) secara sewenang-wenang memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari berbagai negara termasuk Tiongkok dan Indonesia.
Tindakan ini telah secara serius melanggar hak dan kepentingan sah negara-negara terkait, bertentangan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), serta memberikan pukulan besar terhadap stabilitas rantai industri regional dan tatanan perdagangan bebas global.
Menanggapi hal tersebut, pada tanggal 5 April 2025, Pemerintah Tiongkok merilis dokumen berjudul “Pernyataan Posisi Pemerintah Tiongkok tentang Penolakan Terhadap Pemberlakuan Tarif Sewenang-wenang oleh AS”, yang secara tegas menyatakan kecaman keras dan penentangan teguh terhadap praktik unilateralisme dan proteksionisme AS. Dunia membutuhkan keadilan, bukan hegemoni!
Bayang-bayang unilateralisme
Di tengah era globalisasi yang sangat tinggi saat ini, tindakan AS menggunakan kenaikan tarif sebagai alat tekanan pasti akan memicu penolakan dari berbagai negara, sekaligus merusak sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan.
Baca Juga: Pandemi Mereda, Pemerintah Siap Sambut Kedatangan Wisman Asal Tiongkok ke Bali
Hal ini tidak pelak mengingatkan kita pada tahun 1930 ketika AS secara drastis menaikkan tarif melalui pengesahan Smoot-Hawley Tarriff Act. Kemudian berbagai negara saling membalas dengan tindakan serupa sehingga perdagangan global mengalami keruntuhan besar dan ekonomi dunia ternaung bayang-bayang Depresi Besar selama satu dekade.
Sebagai negara maju terbesar di dunia, AS seharusnya memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ekonomi global yang sehat dan stabil, bukan mengabaikan hasil keseimbangan kepentingan yang dicapai melalui perundingan perdagangan multilateral, serta menempatkan kepentingan sendiri di atas aturan internasional dengan mengorbankan hak pembangunan yang sah bagi negara lain demi keuntungan geopolitik sepihak.
Faktanya, tarif tidak hanya gagal menyelesaikan masalah defisit perdagangan AS dan membuat AS kembali hebat, malah akan merugikan diri sendiri. Asalkan Warga AS membuka kembali buku teks pelajaran ekonomi dan sejarah sendiri, maka mereka akan menemukan bahwa bayang-bayang unilateralisme tidak pernah membawa kemakmuran dan akhirnya penanggung beban tarif adalah konsumen dan pelaku usaha dalam negeri sendiri.
Baca Juga: Tumbuh 5,31 Persen, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lebih Baik dari AS dan Tiongkok
Sejak melancarkan perang dagang terhadap Tiongkok pada tahun 2018 hingga kini, AS tidak hanya gagal mewujudkan relokasi industri manufaktur atau mengurangi defisit perdagangannya, tetapi justru menimbulkan kenaikan biaya restrukturisasi rantai pasok dan tekanan inflasi.
Pada dasarnya, proteksionisme perdagangan tidak dapat menyelesaikan masalah struktural ekonomi, malah hanya akan merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri.
Pembangunan adalah hak universal
Baca Juga: Di Depan Pengusaha Komite Tiongkok, Prabowo: Memberi Kesempatan Pengusaha Berkembang
Negara-negara Asia Tenggara yang diwakili oleh Indonesia dikenal sebagai pasar terbuka, sektor manufaktur penuh dinamis, serta ekonomi berorientasi ekspor.
Daftar tarif tambahan yang diberlakukan oleh AS kali ini mencakup banyak negara Asia Tenggara, meliputi berbagai sektor termasuk komponen elektronik, produk pertanian, produk kimia, sehingga stabilitas rantai pasokan regional menghadapi risiko sistemik. Tarif tambahan setinggi 32 persen yang diberlakukan terhadap Indonesia akan berdampak negatif secara serius bagi perdagangan, investasi, dan rantai produksi serta pasokan Indonesia, sekaligus secara langsung menghantam usaha kecil dan menengah serta lapangan pekerjaan masyarakat.
Pembangunan bukanlah hak paten negara-negara tertentu, melainkan hak universal bagi semua negara di dunia.
Baca Juga: Di Depan Pengusaha Komite Tiongkok, Prabowo: Semua Agama dan Etnis Akan Saya Lindungi
Di era globalisasi, setiap negara memainkan peran unik dalam pembagian kerja internasional dan berhak untuk memanfaatkan keunggulan masing-masing guna terintegrasi ke dalam rantai industri global, memperoleh alih teknologi, serta mendapatkan peluang pasar.
Segala bentuk hambatan dan penindasan yang dibuat secara sengaja bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, dan pada akhirnya tidak akan bertahan lama. Sebuah negara yang hanya membangun tembok untuk diri sendiri tanpa membuka jalan bagi negara lain, serta tidak pernah menunjukkan belas kasih kepada negara lain bahkan sekutu dekatnya, pada akhirnya akan kehilangan daya penggerak untuk berkembang dan ditinggalkan oleh mitra-mitranya.
Selama tujuh tahun sejak AS secara sepihak memicu perang dagang terhadap Tiongkok, ekonomi Tiongkok tidak hanya tidak runtuh, malah memasuki tahap baru perkembangan berkualitas tinggi.
Baca Juga: Pengusaha Komie Tiongkok Gelontor Rp23 Miliar ke Timnas Indonesia
Pada tahun 2024, total Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok mendekati 135 triliun yuan RMB (sekitar 18,8 triliun dolar AS), tumbuh sebesar 5 persen dibanding tahun sebelumnya, tampil menonjol sebagai satu-satunya yang mencatat pertumbuhan kuat di antara negara-negara besar utama, serta menyumbang sekitar 30 persen terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Hal ini sepenuhnya mencerminkan vitalitas dan ketangguhan ekonomi Tiongkok. Fondasi dasar ekonomi Tiongkok yang terus membaik dalam jangka panjang tidak berubah. Lingkungan sosial yang stabil, sistem kebijakan yang berkelanjutan, serta iklim bisnis yang terus dioptimalkan telah memberikan ekspektasi pengembangan jangka panjang bagi perusahaan domestik maupun asing.
Sejak awal tahun ini, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) serta berbagai lembaga keuangan telah menaikkan prediksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok, dan menganggap “kepastian” Tiongkok sebagai pelabuhan aman untuk menetralisir “ketidakpastian” dari AS.
Baca Juga: Tiga Warga China yang Ditahan di Amerika Serikat Kembali ke Tiongkok
Sebagai ekonomi terbesar kedua dan pasar konsumsi barang terbesar kedua di dunia, bagaimana pun situasi internasional berubah, pintu keterbukaan Tiongkok terhadap dunia justru akan semakin lebar.
Tiongkok akan dengan teguh memajukan keterbukaan tingkat tinggi kepada dunia luar, secara bertahap memperluas keterbukaan institusional dalam hal aturan, regulasi, tata kelola, dan standar, menerapkan kebijakan liberalisasi dan fasilitasi perdagangan serta investasi yang bertingkat tinggi, menciptakan lingkungan bisnis unggul yang berorientasi pasar, berbasis hukum, dan berstandar internasional, serta berbagi peluang pembangunan dengan dunia untuk mewujudkan menang bersama dan saling menguntungkan.
Bersatu mengatasi kesulitan
Baca Juga: Wabah Virus HMPV Mengganas di Tiongkok, Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Panik
Multilateralisme merupakan pilihan yang tak terelakkan untuk mengatasi berbagai kesulitan dan tantangan yang dihadapi dunia, dan globalisasi ekonomi adalah arus sejarah yang tak terbendung.
Menghadapi tindakan intimidatif AS yang terus-menerus memeras negara-negara lain tanpa batas, menunjukkan kelemahan dan kompromi hanya akan membuat AS bertindak semakin merajalela.
Sebagai perwakilan dari negara berkembang besar dan emerging market, Tiongkok dan Indonesia memiliki tanggung jawab untuk bekerja sama dengan negara-negara Global South dalam memperkuat solidaritas dan kolaborasi, bersama-sama menentang praktik keliru AS dalam memberlakukan tarif secara sewenang-wenang dan memicu perang dagang di forum-forum seperti G20, APEC, BRICS, dan WTO, menyerukan agar AS meninggalkan pola pikir zero-sum game, segera mencabut tindakan tarif sepihak, serta kembali ke jalur dialog dan kerja sama yang benar, bersama-sama menegakkan keadilan, menjaga kepentingan bersama masyarakat internasional, dan membawa manfaat bagi rakyat semua negara di tengah situasi dunia yang penuh gejolak dan perubahan.
Baca Juga: PCINU Tiongkok Ingin Jadi Jembatan Pertukaran Budaya Indonesia China dan Perbaiki Praduga Negatif
Hanya dengan bergandengan tangan dan bekerja sama, kita dapat memastikan bahwa perdagangan tetap menjadi jembatan, bukan tembok pemisah.
Hanya dengan menjunjung tinggi multilateralisme yang sejati dan dengan teguh mempertahankan sistem perdagangan multilateral, kita dapat mendorong globalisasi ekonomi berkembang ke arah yang lebih terbuka, inklusif, menguntungkan semua pihak, dan seimbang.
Hanya dengan solidaritas dan kolaborasi, kita dapat bersama-sama mengatasi kesulitan yang dihadapi.
Baca Juga: China Tidak Mau Perang Dagang dengan AS, tapi Tak Takut Tarif 125 Persen Trump
*Wang Lutong adalah Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia.***