DECEMBER 9, 2022
Kolom

Wang Lutong: Dunia Butuh Keadilan, Bukan Hegemoni

image
Ilustrasi- Kapal bermuatan penuh di Terminal Petikemas Surabaya. (ANTARA/HO-TPS)

Oleh Wang Lutong*

ORBITINDONESIA.COM - Baru-baru ini, Pemerintah Amerika Serikat (AS) secara sewenang-wenang memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari berbagai negara termasuk Tiongkok dan Indonesia.

Tindakan ini telah secara serius melanggar hak dan kepentingan sah negara-negara terkait, bertentangan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), serta memberikan pukulan besar terhadap stabilitas rantai industri regional dan tatanan perdagangan bebas global.

Baca Juga: DUH, Akibat Cedera Kaki, Fadia-Apriyani Setop di Semifinal Malaysia Open 2023 Lawan Tiongkok, Begini Ceritanya

Menanggapi hal tersebut, pada tanggal 5 April 2025, Pemerintah Tiongkok merilis dokumen berjudul “Pernyataan Posisi Pemerintah Tiongkok tentang Penolakan Terhadap Pemberlakuan Tarif Sewenang-wenang oleh AS”, yang secara tegas menyatakan kecaman keras dan penentangan teguh terhadap praktik unilateralisme dan proteksionisme AS. Dunia membutuhkan keadilan, bukan hegemoni!

Bayang-bayang unilateralisme

Di tengah era globalisasi yang sangat tinggi saat ini, tindakan AS menggunakan kenaikan tarif sebagai alat tekanan pasti akan memicu penolakan dari berbagai negara, sekaligus merusak sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan.

Baca Juga: Pandemi Mereda, Pemerintah Siap Sambut Kedatangan Wisman Asal Tiongkok ke Bali

Hal ini tidak pelak mengingatkan kita pada tahun 1930 ketika AS secara drastis menaikkan tarif melalui pengesahan Smoot-Hawley Tarriff Act. Kemudian berbagai negara saling membalas dengan tindakan serupa sehingga perdagangan global mengalami keruntuhan besar dan ekonomi dunia ternaung bayang-bayang Depresi Besar selama satu dekade.

Sebagai negara maju terbesar di dunia, AS seharusnya memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ekonomi global yang sehat dan stabil, bukan mengabaikan hasil keseimbangan kepentingan yang dicapai melalui perundingan perdagangan multilateral, serta menempatkan kepentingan sendiri di atas aturan internasional dengan mengorbankan hak pembangunan yang sah bagi negara lain demi keuntungan geopolitik sepihak.

Faktanya, tarif tidak hanya gagal menyelesaikan masalah defisit perdagangan AS dan membuat AS kembali hebat, malah akan merugikan diri sendiri. Asalkan Warga AS membuka kembali buku teks pelajaran ekonomi dan sejarah sendiri, maka mereka akan menemukan bahwa bayang-bayang unilateralisme tidak pernah membawa kemakmuran dan akhirnya penanggung beban tarif adalah konsumen dan pelaku usaha dalam negeri sendiri.

Baca Juga: Tumbuh 5,31 Persen, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lebih Baik dari AS dan Tiongkok

Sejak melancarkan perang dagang terhadap Tiongkok pada tahun 2018 hingga kini, AS tidak hanya gagal mewujudkan relokasi industri manufaktur atau mengurangi defisit perdagangannya, tetapi justru menimbulkan kenaikan biaya restrukturisasi rantai pasok dan tekanan inflasi.

Halaman:

Berita Terkait