DECEMBER 9, 2022
Kolom

Wang Lutong: Dunia Butuh Keadilan, Bukan Hegemoni

image
Ilustrasi- Kapal bermuatan penuh di Terminal Petikemas Surabaya. (ANTARA/HO-TPS)

Pada dasarnya, proteksionisme perdagangan tidak dapat menyelesaikan masalah struktural ekonomi, malah hanya akan merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri.

Pembangunan adalah hak universal

Negara-negara Asia Tenggara yang diwakili oleh Indonesia dikenal sebagai pasar terbuka, sektor manufaktur penuh dinamis, serta ekonomi berorientasi ekspor.

Baca Juga: DUH, Akibat Cedera Kaki, Fadia-Apriyani Setop di Semifinal Malaysia Open 2023 Lawan Tiongkok, Begini Ceritanya

Daftar tarif tambahan yang diberlakukan oleh AS kali ini mencakup banyak negara Asia Tenggara, meliputi berbagai sektor termasuk komponen elektronik, produk pertanian, produk kimia, sehingga stabilitas rantai pasokan regional menghadapi risiko sistemik. Tarif tambahan setinggi 32 persen yang diberlakukan terhadap Indonesia akan berdampak negatif secara serius bagi perdagangan, investasi, dan rantai produksi serta pasokan Indonesia, sekaligus secara langsung menghantam usaha kecil dan menengah serta lapangan pekerjaan masyarakat.

Pembangunan bukanlah hak paten negara-negara tertentu, melainkan hak universal bagi semua negara di dunia.

Di era globalisasi, setiap negara memainkan peran unik dalam pembagian kerja internasional dan berhak untuk memanfaatkan keunggulan masing-masing guna terintegrasi ke dalam rantai industri global, memperoleh alih teknologi, serta mendapatkan peluang pasar.

Baca Juga: Pandemi Mereda, Pemerintah Siap Sambut Kedatangan Wisman Asal Tiongkok ke Bali

Segala bentuk hambatan dan penindasan yang dibuat secara sengaja bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, dan pada akhirnya tidak akan bertahan lama. Sebuah negara yang hanya membangun tembok untuk diri sendiri tanpa membuka jalan bagi negara lain, serta tidak pernah menunjukkan belas kasih kepada negara lain bahkan sekutu dekatnya, pada akhirnya akan kehilangan daya penggerak untuk berkembang dan ditinggalkan oleh mitra-mitranya.

Selama tujuh tahun sejak AS secara sepihak memicu perang dagang terhadap Tiongkok, ekonomi Tiongkok tidak hanya tidak runtuh, malah memasuki tahap baru perkembangan berkualitas tinggi.

Pada tahun 2024, total Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok mendekati 135 triliun yuan RMB (sekitar 18,8 triliun dolar AS), tumbuh sebesar 5 persen dibanding tahun sebelumnya, tampil menonjol sebagai satu-satunya yang mencatat pertumbuhan kuat di antara negara-negara besar utama, serta menyumbang sekitar 30 persen terhadap pertumbuhan ekonomi global.

Baca Juga: Tumbuh 5,31 Persen, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lebih Baik dari AS dan Tiongkok

Hal ini sepenuhnya mencerminkan vitalitas dan ketangguhan ekonomi Tiongkok. Fondasi dasar ekonomi Tiongkok yang terus membaik dalam jangka panjang tidak berubah. Lingkungan sosial yang stabil, sistem kebijakan yang berkelanjutan, serta iklim bisnis yang terus dioptimalkan telah memberikan ekspektasi pengembangan jangka panjang bagi perusahaan domestik maupun asing.

Halaman:

Berita Terkait