DECEMBER 9, 2022
Kolom

Mengenali Trumpisme, Paham Pemicu Transformasi Kolosal Lanskap Global

image
Gedung Putih AS. ANTARA/Xinhua (ANTARA/Xinhua)

Anti-globalisasi

Elemen lainnya, sebagaimana telah disebutkan pada awal artikel ini, adalah sentimen anti-globalisasi yang ditunjukkan dengan banyaknya kritik terhadap lembaga internasional dan berbagai perjanjian multilateral. Tidak heran pula bila donor utama Trump, yaitu Elon Musk, juga kerap menelurkan gagasan kontroversial seperti sepakat terhadap pemikiran bahwa AS selayaknya keluar dari PBB.

Ciri khas lainnya adalah Trumpisme adalah sikap tegas dalam permasalahan imigran, yaitu dengan mendorong kontrol imigrasi yang ketat serta menangkapi berbagai orang (bahkan dalam sejumlah kasus seperti "penculikan") terhadap mereka yang dianggap melanggar aturan imigrasi AS.

Baca Juga: Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin: Globalisasi dan Perang Asimetris

Terkait imigran itu sendiri, pemerintahan Trump pada periode sebelumnya yaitu (2017-2021) juga telah menerapkan sejumlah kebijakan seperti larangan perjalanan ke AS dari sejumlah negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, serta memperkenalkan kebijakan untuk mengurangi pencari suaka.

Trumpisme juga mengaku pendukung penegakan hukum dan ketertiban, dengan menggambarkan dirinya sebagai pelindung pihak kepolisian dan para veteran. Ironisnya, pemerintahan Trump saat ini banyak mengurangi pos anggaran untuk pelayanan veteran serta mengurangi puluhan ribu pegawai Departemen Veteran AS.

Kemudian, Trumpisme juga dikenal dengan sikap anti-political correctness, atau penyampaian retorika yang memperhatikan kepekaan politik. Menurut mereka, menyampaikan sesuatu dengan apa adanya dan secara lugas (meski secara faktual hal itu bisa diperdebatkan) lebih baik daripada kata-kata eufemisme.

Baca Juga: Kadin Indonesia Fokus Jalankan Empat Quick Win Meliputi Makan Bergizi Gratis Sampai PKG

Trump sendiri juga kerap menggunakan bahasa yang provokatif, serta menghina lawan politik, media, dan kelompok lain, yang ternyata hal itu bukan dianggap sebagai hal tercela secara moral tetapi malahan beresonansi dengan para pendukungnya yang tidak suka dengan sikap kepekaan berlebihan.

Dengan kata lain, Trumpisme mengabaikan norma politik tradisional yang menjunjung tinggi kesantunan dalam retorika politik seorang negarawan. Menurut para pendukung Trumpisme, lebih baik untuk menggunakan gaya komunikasi yang tidak konvensional bahkan terkadang tidak santun.

Hal tersebut juga membuat munculnya kultus kepribadian terhadap Trump, atau adanya gejala "orang kuat" dalam puncak perpolitikan suatu negara. Uniknya, berbagai gejala "orang kuat" juga kerap muncul di berbagai negara dengan pemerintahan yang selaras dengan Trump.

Baca Juga: Mengkaji Opsi Tidak Dalam Hantaman "Nuklir" Tarif Trump

Dengan kuatnya keperluan untuk memunculkan satu sosok "orang kuat" sebenarnya sangat berbahaya karena dapat memunculkan pemikiran bahwa sang pemimpin itu adalah "personifikasi dari negara itu sendiri", sehingga sang pemimpin itu sendiri juga berpotensi ke depannya tidak lagi mengenali diri sebagai "pelayan rakyat".

Halaman:

Berita Terkait