Budhy Munawar-Rachman tentang Buku Daniel Goleman: Emosi adalah Inti Pengalaman Manusia
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Rabu, 29 Januari 2025 13:03 WIB
Buku Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ, karya Daniel Goleman (New York: Bantam Books, 1995).
ORBITINDONESIA.COM - Daniel Goleman dalam bukunya ini, memberi sebuah pandangan yang mendalam tentang peran emosi dalam kehidupan manusia. Dengan pendekatan yang komprehensif, buku ini menjelaskan bagaimana kecerdasan emosional (EI), bukan hanya IQ, menjadi penentu utama keberhasilan seseorang dalam berbagai aspek kehidupan.
Daniel Goleman menggunakan gaya narasi yang menggugah, menghadirkan contoh-contoh konkret dan studi ilmiah untuk membuktikan bahwa emosi adalah inti dari pengalaman manusia.
Baca Juga: Kena Roasting Igun Soal Suaranya, Keisya Levronka Sakit Hati, Tumpahkan Perasaan di Twitter
Sejak awal, hadirnya buku ini, Daniel Goleman mengajak kita untuk melihat kekuatan emosi dalam kehidupan sehari-hari. Ia membuka dengan kisah seorang pengemudi bus di New York yang menyapa penumpangnya dengan ramah di tengah suasana yang muram.
Dengan sapaan sederhana, ia berhasil mengubah mood para penumpangnya, menciptakan lingkungan yang lebih positif. Contoh ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh emosi dalam interaksi sosial dan bagaimana emosi bisa menjadi alat untuk menciptakan dampak positif yang meluas.
Dari sini, Goleman membawa kita ke dalam penjelasan ilmiah tentang mekanisme dasar emosi. Ia menjelaskan tentang sistem limbik dalam otak manusia, yang melibatkan amigdala sebagai pusat kontrol emosi. Amigdala bertugas merespons rangsangan emosional dengan cepat, sering kali sebelum neokorteks, bagian otak yang rasional, sempat menganalisis situasi. Proses ini disebut "hijacking emosional" karena emosi mengambil alih kontrol sebelum kita bisa berpikir jernih.
Baca Juga: Inilah Ciri-Ciri Perasaan Fear of Abandonment yang Mungkin Tidak Anda Sadari
Fenomena ini, yang berevolusi untuk melindungi manusia dari bahaya, sering kali menjadi penyebab perilaku impulsif dalam konteks modern yang kompleks. Namun, bukan hanya reaksi impulsif yang menjadi fokus Goleman. Ia juga membahas potensi kecerdasan emosional untuk mengelola respons kita terhadap emosi.
Kecerdasan emosional, menurut Goleman, mencakup lima elemen utama: kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Kesadaran diri memungkinkan kita mengenali emosi kita sendiri, sementara pengendalian diri membantu kita mengelola emosi tersebut agar tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Motivasi mendorong kita untuk mencapai tujuan meskipun menghadapi rintangan. Empati memungkinkan kita memahami perasaan orang lain, dan keterampilan sosial memungkinkan kita membangun hubungan yang bermakna dan produktif.
Dalam buku ini, Goleman menggambarkan dampak kecerdasan emosional terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan interpersonal. Ia memberikan banyak contoh nyata untuk menunjukkan bagaimana pemahaman dan pengelolaan emosi dapat membantu seseorang menghindari konflik, memperkuat hubungan, dan menciptakan kedekatan emosional.
Dalam konteks pernikahan, misalnya, seorang pasangan yang mampu mendengarkan dengan empati dan merespons dengan bijak lebih mungkin menjaga keharmonisan hubungan mereka. Di tempat kerja, kecerdasan emosional menjadi faktor penting yang menentukan kesuksesan. Kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan, berkomunikasi secara efektif, dan bekerja sama dalam tim adalah atribut yang sangat dihargai di lingkungan kerja modern.
Selain itu, Goleman menunjukkan hubungan erat antara kecerdasan emosional dan kesehatan. Stres kronis, yang sering kali disebabkan oleh ketidakmampuan mengelola emosi, dapat merusak tubuh, termasuk melemahkan sistem kekebalan, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, dan mempercepat proses penuaan.
Sebaliknya, orang yang memiliki keseimbangan emosional cenderung lebih sehat secara fisik dan mental, karena mereka dapat menghadapi tantangan hidup dengan cara yang lebih konstruktif. Goleman mengutip berbagai penelitian yang mendukung klaim ini, menunjukkan bahwa emosi memiliki dampak langsung pada tubuh kita.
Baca Juga: Jadi Korban Penipuan Scam Online hingga 21 Juta, Lapor Polisi Harus Nunggu 14 Hari, Netizen Emosi
Namun, kecerdasan emosional bukanlah sesuatu yang hanya relevan bagi orang dewasa. Goleman menekankan pentingnya pengembangan kecerdasan emosional sejak usia dini. Ia mengkritik sistem pendidikan tradisional yang terlalu berfokus pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara aspek emosional sering kali diabaikan.
Ia berpendapat bahwa sekolah harus menjadi tempat di mana anak-anak belajar mengenali dan mengelola emosi mereka, selain menguasai keterampilan akademik. Program pelatihan sosial-emosional, yang telah diterapkan di beberapa sekolah, memberikan hasil yang menjanjikan. Anak-anak yang mengikuti program ini menunjukkan peningkatan dalam kemampuan akademik, empati, pengendalian diri, dan keterampilan menyelesaikan konflik.
Salah satu kekuatan utama buku ini adalah keyakinan Goleman bahwa kecerdasan emosional dapat dipelajari dan dikembangkan sepanjang hidup. Tidak seperti IQ yang cenderung stabil, kecerdasan emosional adalah keterampilan dinamis yang bisa ditingkatkan melalui refleksi, latihan, dan pengalaman. Goleman memberikan berbagai strategi praktis untuk meningkatkan kecerdasan emosional, mulai dari cara menghadapi stres hingga cara meningkatkan empati terhadap orang lain.
Baca Juga: Berlaku Emosional, Murad Ismail Dicopot dari Jabatan Ketua DPD PDI Perjuangan Maluku
Misalnya, ia menyarankan agar kita melatih kesadaran diri dengan mengenali emosi yang muncul dalam situasi tertentu dan merenungkan bagaimana emosi tersebut memengaruhi perilaku kita.
Namun, buku ini juga menghadapi kritik. Salah satu kritik utama adalah bahwa Goleman terkadang terlalu optimis dalam menghubungkan kecerdasan emosional dengan berbagai aspek kesuksesan hidup. Meskipun banyak penelitian mendukung pentingnya kecerdasan emosional, beberapa ahli berpendapat bahwa hubungan ini tidak selalu sekuat yang digambarkan Goleman.
Selain itu, konsep kecerdasan emosional itu sendiri masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi. Ada yang berargumen bahwa kecerdasan emosional lebih cocok dianggap sebagai kumpulan keterampilan atau sifat kepribadian, bukan sebagai bentuk kecerdasan yang setara dengan IQ.
Baca Juga: Terungkap Setelah Buka Cadar, Begini Perasaan Inara Rusli yang Akui Mengalami Gejolak Dalam Dirinya
Namun, meskipun ada kritik, buku ini tetap memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman kita tentang emosi. Dengan gaya penulisan yang mudah diakses dan penuh dengan contoh-contoh relevan, Goleman berhasil mengkomunikasikan ide-idenya dengan cara yang dapat dipahami oleh pembaca dari berbagai latar belakang. Buku ini tidak hanya memberikan wawasan tentang pentingnya kecerdasan emosional, tetapi juga menawarkan panduan praktis untuk mengembangkannya.
Di bagian akhir bukunya, Goleman menggambarkan visi masa depan di mana kecerdasan emosional menjadi bagian integral dari pendidikan dan kehidupan masyarakat. Ia membayangkan dunia di mana empati, pengendalian diri, dan keterampilan sosial diajarkan sejak dini di sekolah, menciptakan generasi yang lebih harmonis dan penuh pengertian.
Dengan mengintegrasikan kecerdasan emosional ke dalam kehidupan sehari-hari, Goleman percaya bahwa kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih manusiawi, di mana orang-orang saling memahami dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
"Emotional Intelligence" adalah buku yang menggugah pemikiran dan memberikan wawasan baru tentang bagaimana kita memahami dan mengelola emosi. Dalam dunia yang semakin kompleks dan emosional, pesan Goleman menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Buku ini tidak hanya menginspirasi kita untuk mengenali pentingnya emosi dalam kehidupan mereka, tetapi juga menjadi panduan yang berharga untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna.
Dengan demikian, karya ini adalah panggilan untuk introspeksi dan perubahan, baik pada tingkat individu maupun sosial.
Pengaruh
Baca Juga: Rekomendasi 5 Drama Korea dengan Kisah Penuh Emosional, Tentang Cinta dan Keluarga
Sejak diterbitkannya buku Emotional Intelligence oleh Daniel Goleman pada tahun 1995, konsep kecerdasan emosional (EQ) telah mengalami perkembangan signifikan dan memberikan dampak yang luas dalam berbagai aspek kehidupan.
Di bidang pendidikan, pemahaman bahwa EQ memainkan peran penting dalam keberhasilan akademis dan sosial siswa telah mendorong integrasi program pengembangan kecerdasan emosional dalam kurikulum sekolah. Program-program ini bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan kesadaran diri, pengendalian diri, empati, dan keterampilan sosial yang esensial untuk interaksi yang sehat dan produktif. Penelitian menunjukkan bahwa siswa dengan EQ yang baik cenderung memiliki prestasi akademis yang lebih tinggi dan hubungan sosial yang lebih positif.
Dalam lingkungan profesional, konsep EQ telah menjadi faktor penentu dalam proses rekrutmen dan pengembangan karyawan. Perusahaan semakin menyadari bahwa keterampilan teknis saja tidak cukup untuk mencapai kesuksesan; kemampuan untuk bekerja dalam tim, mengelola stres, dan berkomunikasi efektif menjadi sama pentingnya. Goleman dalam bukunya Working with Emotional Intelligence (1998) menekankan bahwa EQ adalah kunci untuk kepemimpinan yang efektif dan kinerja kerja yang optimal.
Baca Juga: Spoiler Drakor Twinkling Watermelon Episode 10, Akankah Ha Yi Chan Membalas Perasaan Yoon Cheong Ah
Selain itu, kesadaran akan pentingnya EQ telah meningkatkan fokus pada kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Kemampuan untuk mengenali dan mengelola emosi sendiri serta memahami emosi orang lain berkontribusi pada hubungan interpersonal yang lebih baik dan penurunan tingkat stres. Goleman menghubungkan kecerdasan emosional dengan kesehatan mental dan fisik, mengutip penelitian yang menunjukkan bagaimana ketahanan emosional dapat mengurangi stres, meningkatkan hubungan, dan meningkatkan kepuasan hidup secara keseluruhan.
Seperti sudah dikemukakan sedikit di atas, meskipun demikian, konsep EQ tidak luput dari kritik. Beberapa ahli berpendapat bahwa pengukuran EQ kurang objektif dibandingkan IQ, dan ada perdebatan mengenai sejauh mana EQ dapat diajarkan atau dikembangkan. Namun, banyak penelitian dan praktik di lapangan yang menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, aspek-aspek EQ dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pengalaman.
Secara keseluruhan, pengaruh konsep kecerdasan emosional yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman tetap signifikan hingga saat ini. EQ telah menjadi komponen penting dalam pendidikan, dunia kerja, dan kesehatan mental, dengan penekanan pada pentingnya memahami dan mengelola emosi untuk mencapai kesuksesan dan kesejahteraan dalam kehidupan.
Insight Baru EQ
Daniel Goleman dalam The Brain and Emotional Intelligence: New Insights (2011), menggali lebih jauh ke dalam temuan-temuan baru yang telah memperluas pemahaman kita tentang kecerdasan emosional (EI) sejak konsep ini pertama kali diperkenalkan, seperti dijelaskan di atas. EQ, yang merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengatur emosi baik pada diri sendiri maupun orang lain, telah terbukti menjadi elemen penting dalam kepemimpinan, hubungan interpersonal, dan kesejahteraan individu.
Gokeman memulai dengan mengulas pertanyaan mendasar, yaitu apakah kecerdasan emosional benar-benar merupakan entitas yang terpisah dari IQ. Studi-studi neurologi menunjukkan bahwa EI beroperasi melalui area otak yang berbeda dari IQ, termasuk amigdala dan korteks prefrontal.
Baca Juga: Piala Eropa 2024, Slovakia Melawan Ukraina: Bercampur Emosi Politik
Contohnya, amigdala berfungsi sebagai pusat radar emosional, sementara korteks prefrontal membantu dalam pengaturan impuls dan pengambilan keputusan yang lebih rasional. Studi ini memperkuat pandangan bahwa EI adalah seperangkat kemampuan unik yang melibatkan sirkuit otak tertentu.
Lebih lanjut, Goleman mengidentifikasi empat domain utama EI: kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan. Kesadaran diri melibatkan kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri dan memahami dampaknya. Ini adalah fondasi dari kecerdasan emosional, dan area seperti amigdala serta korteks somatosensori memainkan peran kunci dalam mengolah emosi pribadi. Dengan kesadaran diri yang kuat, seseorang dapat membuat keputusan yang lebih baik karena mereka mampu mengevaluasi perasaan mereka secara rasional.
Pengelolaan diri adalah kemampuan untuk mengontrol impuls dan emosi negatif, yang sangat penting untuk mencapai kinerja optimal. Goleman menjelaskan fenomena “amygdala hijack,” yaitu ketika amigdala mengambil alih fungsi otak rasional, menyebabkan respons emosional yang berlebihan. Namun, melalui latihan seperti mindfulness dan meditasi, seseorang dapat memperkuat sirkuit otak yang membantu mengelola stres dan emosi, mengurangi dampak negatif dari hijack ini.
Kesadaran sosial adalah kemampuan untuk memahami dan merespons emosi orang lain, termasuk empati. Temuan tentang neuron cermin, yang memungkinkan kita untuk “mencerminkan” emosi orang lain, menyoroti bagaimana otak sosial kita dirancang untuk koneksi interpersonal. Misalnya, ketika seseorang berbicara dengan nada positif, emosi tersebut dapat menular ke orang lain, membangun hubungan yang lebih harmonis. Sebaliknya, nada negatif dapat menciptakan ketegangan.
Manajemen hubungan mencakup keterampilan interpersonal yang lebih kompleks, seperti menginspirasi orang lain, menyelesaikan konflik, dan membangun kolaborasi. Goleman menunjukkan bahwa pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu memanfaatkan EI untuk memengaruhi emosi tim mereka, menciptakan suasana kerja yang positif dan produktif.
Salah satu wawasan penting dalam buku ini adalah hubungan antara EI dan kinerja optimal. Goleman menguraikan hukum Yerkes-Dodson, yang menunjukkan bahwa ada tingkat stres optimal di mana seseorang dapat mencapai kinerja terbaik. Ketika seseorang terlalu santai, mereka mungkin kehilangan motivasi, tetapi ketika stres terlalu tinggi, hal ini dapat menyebabkan kelelahan atau "frazzle." Zona optimal, yang disebut sebagai “flow,” adalah keadaan di mana seseorang sepenuhnya terfokus dan menikmati tugas mereka. Untuk mencapai flow, seseorang membutuhkan keseimbangan antara tantangan tugas dan kemampuan mereka.
Baca Juga: Aktor Surya Saputra Sebut Bercerita Pada Orang Lain Baik untuk Melepaskan Emosi Negatif
Kreativitas juga menjadi topik yang dibahas secara mendalam. Goleman menjelaskan bahwa otak kreatif melibatkan koneksi yang luas antara berbagai bagian otak, termasuk hemisfer kanan dan kiri. Selama momen “aha,” aktivitas gamma di otak meningkat, menunjukkan integrasi informasi yang tiba-tiba dan inovatif. Untuk memfasilitasi kreativitas, Goleman merekomendasikan fase relaksasi setelah konsentrasi intens, yang memungkinkan otak untuk membangun koneksi baru secara spontan.
Dalam konteks organisasi, EI memainkan peran penting dalam menciptakan tim yang efektif dan kepemimpinan yang inspiratif. Pemimpin yang memiliki EI tinggi dapat memengaruhi emosi tim mereka dengan cara yang positif, mendorong kolaborasi, inovasi, dan produktivitas. Mereka juga lebih mampu menangani konflik dengan empati dan keterampilan komunikasi yang baik.
Buku ini juga menyoroti tantangan EI di era digital. Goleman mencatat bahwa interaksi online sering kali kurang memberikan isyarat emosional, seperti nada suara atau ekspresi wajah, yang biasanya membantu kita menafsirkan pesan secara akurat. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman, seperti dalam kasus “flaming” atau respons emosional berlebihan di email dan media sosial. Solusinya adalah dengan meningkatkan kesadaran akan dampak emosi dalam komunikasi digital dan berupaya menciptakan koneksi yang lebih manusiawi.
Baca Juga: Psikolog Dewinta Ariani: Orang Tua Perlu Pantau Emosional Anak Saat Hadapi Konflik dengan Lingkungan
Secara keseluruhan, buku Emotional Intelligence ini menawarkan pandangan mendalam tentang bagaimana EI dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks pribadi maupun profesional. Dengan memahami dan mengembangkan EI, kita dapat menciptakan hubungan yang lebih baik, membuat keputusan yang lebih bijaksana, dan mencapai kinerja yang lebih tinggi.
Buku ini tidak hanya relevan bagi individu yang ingin meningkatkan⁸, tetapi juga bagi organisasi yang ingin menciptakan budaya kerja yang lebih sehat dan produktif.
Daftar Pustaka
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York, NY: Bantam Books.
Baca Juga: Psikolog Nirmala Ika: Jangan Buat Keputusan Bercerai dalam Keadaan Emosional
Goleman, D. (2011). The brain and emotional intelligence: New insights. Northampton, MA: More Than Sound LLC.
*Budhy Munawar-Rachman, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP) Universitas Paramadina. ***